Suasana pameran Sawahlunto: Dulu, Kini, dan Akan Datang di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (5/12/2018). Pameran berlangsung hingga 7 Desember 2018.
”Sebelum meninggal, berkunjunglah dulu ke Sawahlunto,” demikian ungkapan Wakil Wali Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Zohirin Sayuti, Rabu (5/12/2018).
Kalimat itu disampaikan Zohirin dalam Seminar Sawahlunto Menuju Kota Wisata Tambang Berbudaya di Auditorium Gedung I Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
Di depan ruang seminar, atau di pelataran Gedung II, terhampar riwayat Sawahlunto sebagai kota tambang. Mak Itam, kereta api pengangkut batubara dari Sawahlunto ke Teluk Bayur sejak tahun 1984, hadir dalam bingkai gambar. Ada orang rantai, buruh tambang batubara periode awal yang berasal dari tahanan politik Hindia Belanda dan para tahanan kriminal.
INSAN ALFAJRI UNTUK KOMPAS
Replika orang rantai, buruh tambang Kota Sawahlunto era kolonial, dihadirkan dalam Pameran Sawahlunto: Dulu, Kini, dan Akan Datang di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok, Rabu (5/12/2018). Di Sawahlunto, nisan orang rantai hanya berupa nomor, tak ada nama di situ.
Tambang adalah bagian yang tak terpisahkan dari kota ini. Pada tahun 1868, seorang insinyur pertambangan Belanda, Willem Hendrik de Greve, menemukan potensi besar kandungan batubara di Sungai Ombilin, salah satu sungai di Sawahlunto.
Berkat penelitian De Greve–yang tewas karena hanyut di Sungai Ombilin–Sawahlunto mulai ditambang. Penggalian pertama dilakukan tahun 1890 oleh ribuan orang rantai. Produksi pertama tahun 1892 sebesar 40.000 ton dari lapangan Sungai Durian (Kompas, 4 September 2015).
Pada tahun 1998, aktivitas tambang terhenti. Hal ini disebabkan oleh PT Bukit Asam, perusahaan tambang terbesar waktu itu, memindahkan eksplorasinya ke tempat lain (Kompas, 3 April 2013).
Kini, Sawahlunto berbenah dengan ”menjual” masa lalu: kota tambang yang selalu mengundang romantisisme zaman penjajahan.
Sejak tahun 2002, kota ini berbenah dari kota tambang ke kota wisata. Itu dilakukan dengan mendaur ulang berbagai bangunan lama yang terkait dengan tampang. Dalam rentang waktu 2005-2008, sejumlah museum didirikan, antara lain Goedang Ransoem, Lubang Mbah Soero, dan Museum Kereta Api.
Zohirin bercerita, proses pembuatan museum itu tidak mudah. Goedang Ransoem, misalnya, sebelumnya dihuni oleh keluarga tambang. Mereka awalnya tidak mau pindah. ”Pemerintah kota sampai dikejar ke kantor dengan menggunakan parang,” kata Zohirin.
INSAN ALFAJRI UNTUK KOMPAS
Wakil Wali Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Zohirin Sayuti menyampaikan visi Sawahlunto sebagai kota tambang berbudaya, Rabu (5/12/2018), di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Pemerintah kota kemudian memindahkan mereka dengan cara membuat hunian baru. Di samping itu, semua peninggalan benda lama terkait tambang yang berpotensi menjadi cagar budaya diumumkan kepada khalayak. Setiap orang yang menemukan diberi uang. Hingga kini, Sawahlunto memiliki 119 cagar budaya.
Kota Sawahlunto dikelilingi oleh Bukit Barisan. Oleh sebab itu, Sawahlunto sering disebut sebagai ”kota kuali”. Jika Anda pada malam hari berada di Puncak Cemara, salah satu tempat wisata di tempat itu, akan terlihat pendar cahaya lampu.
”Seperti Hong Kong pada malam hari,” kata Zohirin.
Zohirin dan segenap pemerintah terkait sedang harap-harap cemas. Tahun ini, Sawahlunto sedang dalam proses penilaian kota industri batubara masa lampau sebagai warisan budaya dunia yang diakui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
”Dua hari lalu, Dewan Penilai (Icomos) mengajukan lima pertanyaan. Tiga pertanyaan kami jawab langsung, duanya kami jawab secara tertulis. Pada Juli 2019, hasilnya akan diumumkan,” katanya.
Dalam proses persiapan, Sawahlunto menggandeng Departemen Arkeologi FIB UI. Selama setahun terakhir, Departemen Arkeologi melakukan sejumlah kegiatan di kota itu, antara lain, kuliah kerja lapangan, pengabdian masyarakat, penelitian, dan seminar.
Dekan FIB UI Adrianus Waworuntu mengatakan, Sawahlunto berpeluang mendapat warisan budaya dunia dari UNESCO. Hanya saja, dia menduga hal kritis yang akan ditanyakan UNESCO adalah terkait keberlanjutan dari kawasan tersebut.
”Ketika di Sawahlunto, saya kaget. Serasa berada di zaman yang berbeda (kolonial). Sebagian bangunannya masih berfungsi,” kata Adri.
Dengan menyandang status sebagai kota yang memiliki warisan budaya dunia, kunjungan wisatawan akan meningkat. Setidaknya itu yang diyakini Zohirin.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Erwiza Erman, mencatat sektor wisata menyumbang 4,19 persen terhadap pendapatan asli daerah. Di sisi lain, tingkat kemiskinan juga berkurang dari 5,3 persen tahun 2004 menjadi 2,01 persen pada tahun 2017. (INSAN ALFAJRI)