Untuk membenahi tata kelola minyak goreng, pemerintah semestinya fokus mengamankan harga CPO untuk produsen dalam negeri, termasuk menetapkan jatah Domestic Market Obigation yang harus dipenuhi oleh produsen CPO.
Oleh
RONNY P SASMITA
·4 menit baca
DIDIE SW
-
Skenario pengendalian harga minyak goreng dari pemerintah sejak semula memang terkesan absurd. Jadi wajar jika suplai tak bisa dikendalikan dan harga tak bisa didiktekan dengan mudah.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan ”rem mendadak” dengan memaksakan harga per kilogram minyak goreng menjadi Rp 14.000 untuk jenis kemasan dan Rp 11.500 untuk curah. Namun, pemerintah tak memiliki institusi ekonomi untuk memastikan intervensi bisa berjalan secara optimal.
Faktanya, pemerintah hanya bergantung pada perusahaan swasta ritel nasional dengan kapasitas terbatas. Walhasil, yang dipajang di sejumlah minimarket hanya label harga versi pemerintah tanpa ada barangnya. Para penjaga minimarket berkilah stok habis. Dan, nyatanya stok minyak goreng di gerai-gerai pasar modern memang selalu habis.
Hanya segelintir konsumen minyak goreng yang berhasil membawanya pulang, sisanya harus membayar di atas harga pemerintah di kios-kios atau pasar tradisional karena stok lama yang dibeli distributor dan pengecer sebelum harga dinyatakan turun, masih tinggi.
Beberapa catatan perlu diperhatikan pemerintah atas gagalnya intervensi harga minyak goreng kali ini.
Beberapa catatan perlu diperhatikan pemerintah atas gagalnya intervensi harga minyak goreng kali ini. Pertama, memaksakan harga murah ke dalam pasar minyak goreng justru membuat distributor merugi karena sudah telanjur menyimpan stok barang yang dibeli dengan harga pasar sebelum harga ditentukan pemerintah.
Jika distributor dipaksa melepas barang dengan harga yang ditentukan pemerintah, berarti memaksa distributor dan peritel menanggung kerugian di satu sisi dan tanpa ada kepastian ganti rugi dari pemerintah di sisi lain. Dengan demikian, jalan satu-satunya bagi distributor adalah menyimpan stok sembari menunggu sampai harga jual cukup menguntungkan.
Sementara solusi bagi peritel adalah tetap menjual stok minyak gorengnya dengan harga di atas harga yang ditetapkan pemerintah demi menjaga margin keuntungan (tak merugi).
Kedua, pihak produsen pun tak bisa ujuk-ujuk menurunkan harga minyak goreng karena telah membayar bahan mentah (CPO) dengan harga internasional, yang notabene sedang tinggi. Walhasil, produsen tak akan memberikan harga minyak goreng dengan harga yang ditentukan pemerintah kepada distributor karena akan membuat produsen juga merugi, di tengah tak adanya kepastian ganti rugi dari pemerintah.
Jadi, kenaikan harga bukan karena produsen atau distributor ingin mengantongi margin keuntungan superbesar, melainkan karena biaya produksi terkerek naik akibat kenaikan harga internasional CPO.
Pembenahan tata kelola
Ketiga, pemerintah belum terlihat serius bekerja membenahi tata kelola minyak goreng. Selama ini, pemerintah hanya sibuk mengungkap tempat- tempat distributor menyimpan barang di satu sisi. Di sisi lain, Menteri Perdagangan wara-wiri dari satu pasar tradisional ke pasar tradisional lain sembari mengatakan akan segera menyelesaikan persoalan minyak goreng, tanpa memerinci langkah konkretnya.
Jika pemerintah memang fokus membenahi tata kelola minyak goreng, pemerintah semestinya fokus mengamankan harga CPO untuk produsen dalam negeri, termasuk menetapkan secara tegas jatah domestic market obligation yang harus dipenuhi produsen CPO alias bukan fokus pada harga jual minyak goreng. Sebab, biang kerok utamanya ada pada harga CPO yang mengikut pergerakan harga komoditas internasional.
Artinya, pemerintah semestinya tak menyerah begitu saja atau mengambinghitamkan para mafia minyak goreng untuk menutupi kegagalan pemerintah dalam stabilisasi suplai dan harga minyak goreng. Hal itu karena produsen dan distributor bergerak berdasarkan rasionalitas ekonomi, yakni meminimalkan kerugian dan memaksimalkan keuntungan.
Jadi, bukan karena mafia, melainkan karena pemerintah tak bekerja membenahi tata kelolanya. Justru yang dilakukan pemerintah adalah pekerjaan mudah yang tak menyelesaikan persoalan, yakni menetapkan harga jual minyak goreng tanpa memikirkan rentetan proses bagaimana harga terbentuk.
Dan keempat, sudah menjadi risiko umum jika pemerintah menentukan harga di bawah harga internasional, penyelundupan akan berkembang karena disparitas harga yang tinggi akan melahirkan peluang keuntungan yang tinggi pula. Itulah risiko dari penentuan harga secara sepihak oleh pemerintah yang notabene jauh di bawah harga internasional.
Dengan menyalahkan penyelundup, pemerintah mengungkap kelemahan sendiri. Berkembangnya penyelundupan memperlihatkan dua hal. Pertama, kebijakan penetapan harga eceran tertinggi jauh di bawah harga internasional adalah kebijakan yang kurang tepat. Kedua, berkembangnya penyelundupan memperlihatkan lemahnya institusi penegakan hukum nasional.
Jadi pendeknya, akan sangat salah jika pemerintah menyerah kalah melawan mafia tanpa menyelesaikan persoalan dasarnya, yakni tata kelola minyak goreng. Kalau suatu waktu nanti harga menggila lagi karena harga internasional CPO naik tajam, kondisi yang sama akan terjadi lagi. Harga minyak goreng akan naik, lalu pemerintah akan mengintervensi harga, dan akan gagal lagi seperti hari ini.
Jadi pendeknya, akan sangat salah jika pemerintah menyerah kalah melawan mafia tanpa menyelesaikan persoalan dasarnya, yakni tata kelola minyak goreng.
Ujungnya bisa ditebak, pemerintah akan mengambinghitamkan mafia minyak goreng lagi, sementara persoalan dasar tata kelola minyak goreng tetap tak terselesaikan.
Jika pemerintah serius, saat inilah waktu yang tepat untuk memastikan suplai CPO untuk pasar domestik dengan ketetapan harga yang jelas dan tegas (bukan ketetapan harga jual minyak goreng).
Kemudian, melakukan pemantauan secara berkala jalur distribusi minyak goreng, dan meningkatkan peran institusional Bulog dalam menstabilisasi harga minyak goreng dengan misi penguatan cadangan minyak goreng nasional, layaknya pengamanan cadangan komoditas dasar lainya, seperti beras dan BBM, misalnya. Semoga.
Ronny P Sasmita,Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution