Para Pemburu Enam Bintang
Berlari menyelesaikan maraton sejarak 42,195 kilometer kini belumlah cukup. Para pelari maraton Indonesia kini sibuk berburu “enam bintang” alias Six Star Finisher dengan menyelesaikan maraton utama di enam kota dunia.

Suasana Tokyo Marathon 2018 yang berlangsung 26 Februari 2018 diikuti sekitar 35.000pelari dari berbagai dunia.
Berlari menyelesaikan maraton sejarak 42,195 kilometer kini belumlah cukup. Para pelari penamat maraton Indonesia kini sibuk berburu “enam bintang” alias menjadi Six Star Finisher. Medali “langka” itu hanya bisa didapat jika seorang pelari menyelesaikan enam rangkaian World Marathon Majors (WMM). Saat ini tercatat baru 18 pelari Indonesia saja yang sudah “khatam” menyelesaikan enam seri maraton utama itu.
Tiga dari enam WMM tersebut sudah saya selesaikan yaitu Tokyo Marathon, Berlin Marathon dan Chicago Marathon. Sedangkan tiga maraton utama lainnya adalah New York City Marathon, London Marathon, dan Boston Marathon.
“Kayaknya aku enggak jadi deh ambil Boston Marathon tahun ini, semakin mahal saja,” ujar seorang pelari saat kami bertemu dalam satu kesempatan.
Menurutnya, untuk mendapatkan slot Boston Marathon tanpa syarat Boston Qualified (BQ), pelari bisa mendapatkan kesempatan mengikuti ajang itu melalui charity event. Harga “minimal” charity event untuk Boston saat ini sekitar 8.500 dollar AS. “Eh, pas aku mau ternyata harganya udah 13.500 dollar AS (sekitar Rp 190 juta). Gila aja lagi,” ujarnya.
BQ merupakan syarat waktu tempuh maraton yang harus dicapai oleh mereka yang ingin bergabung di Boston Marathon sesuai kategori umur peserta. Harga segambreng itu baru untuk mendapatkan slot maraton yang diikuti ribuan pelari itu. Tentu itu belum termasuk tiket pesawat, akomodasi, serta hotel selama mengikuti ajang tersebut.

Pelari yang akan menyelesaikan maraton utama keenam kalinya ditandai dengansemacam plakat yang dipasang di punggungnya.
Selain Boston Marathon, London Marathon juga dikenal sangat sulit. Selain untung-untungan mengikuti balot, peserta juga berburu slot melalui charity. Tak heran jika di antara ribuan pelari dari 264 juta penduduk Indonesia, baru 18 orang Indonesia saja yang mengantongi bintang Six Star. Di Seluruh dunia, tercatat sebanyak 6.401 orang pelari yang memiliki medali Six Star.
Menurut Elianah Setiadi—beberapa waktu lalu, setidaknya ada tiga faktor yang bisa mengantar orang menyelesaikan enam maraton utama dunia. “Pertama mereka yang beruntung mendapatkan slot dari undian. Kedua, mereka yang mendapat undangan khusus. Lainnya, ya kita punya banyak duit untuk membeli slot,” kata Elianah, seorang Indonesia pemegang Six Star.
Salah satu penyedia biro perjalanan WMM di Indonesia, Cerita Lari, pun menjadi tumpuan sejumlah pelari yang tak lolos undian untuk mendapatkan slot. Dengan harga sekitar Rp 27 juta hingga Rp 38 juta untuk slot lari di salah satu WMM pun laris manis tak tersisa. Bahkan banyak di antaranya jauh-jauh hari sudah booking. “London dan Tokyo Marathon favorit para pelari Indonesia,” kata Faidzin Kadni, dari Cerita Lari.
Sebanyak 40 slot London Marathon langsung ludes karena jauh-jauh hari sebanyak 120 orang sudah antre di Cerita Lari. Demikian juga dengan slot WMM di New York sebanyak 70 slot maupun Tokyo yang tahun ini hanya ada 10-15 slot karena berbarengan dengan Olimpiade Tokyo 2020. Cerita Lari tidak menyediakan jasa slot untuk Chicago karena dianggap lebih mudah mendapatkannya dengan drawing atau undian.
Bagi para pemburu keberuntungan, banyak pelari Indonesia yang mencoba berkali-kali mengikuti sistem balot atau undian masing-masing WMM. “Gue sudah mencoba empat kali drawing Tokyo Marathon belum juga berhasil. Mau coba terus,” kata Merry Katombo, yang baru saja menyelesaikan New York City Marathon. Merry sudah menyelesaikan tiga maraton WMM masing-masing Berlin, Chicago, dan New York.

Suasana Tokyo Marathon 2018 yang berlangsung 26 Februari 2018 diikuti sekitar 35.000pelari dari berbagai dunia.
Adriansyah Chaniago tahun ini merasa beruntung. Pelari maraton yang juga dikenal sebagai pelari ultra trail itu mendapat undangan khusus dari penyelenggara London Marathon. Salah seorang Six Star Finishers itu akan mengulang putaran keduanya untuk mendapakan Six Star keduanya. Kini dia sedang berusaha keras untuk mendapatkan BQ dan mengikuti sejumlah event marathon gold label.
“Intinya sih semua WMM itu memberikan pengalaman yang luar biasa jadi kepingin diulang. Race-nya selalu rapi dan steril dengan cheering yang luar biasa. Di samping itu kita juga bisa melihat pemandangan kota-kota utama dunia itu dengan berlari,” kata Adriansyah.
Kualifikasi Boston
Boston Marathon dikenal sebagai WMM paling sulit untuk bisa ikutan. Bagi mereka yang banyak duit mungkin tidak masalah karena bisa membeli jatah slot. Namun bagi yang harus menabung atau membayar cicilan kartu kredit, untuk bisa berlari di Boston dia harus memenuhi BQ di mana mereka harus menyelesaikan maraton dalam waktu yang ditentukan sesuai umurnya.
Masing-masing umur sudah ditentukan kualifikasi waktunya, misal umur 18-34 tahun harus bisa menyelesaikan maraton yang ditentukan dengan waktu 3 jam 30 menit, atau umur 45-49 tahun dengan waktu 3 jam 50 menit. Mereka yang memiliki catatan waktu lebih baik akan mendapat prioritas lebih baik juga.
Antonius Masjati, yang baru saja menyelesaikan New York Marathon, 3 November lalu, mengakui untuk mendapatkan BQ bukan hal mudah. Untuk pelari seusianya, pria yang berprofesi sebagai banker itu harus menyelesaikan maraton dalam waktu 3 jam 15 menit agar masuk nominasi dan mendapatkan slot Boston Marathon. “Berat, tetapi tidak ada yang tidak mungkin bukan,” kata Jati, yang tahun lalu menyelesaikan London Marathon.

2,3,4,5,6: Suasana Tokyo Marathon 2018 yang berlangsung, 26 Februari 2018 diikuti sekitar 35.000pelari dari berbagai dunia. (Foto: Agus Hermawan)
Para pelari kantoran yang memiliki kecepatan kijang pun mencari berbagai maraton gold label untuk memanen waktu kualifikasi Boston, seperti di Gold Coast Marathon yang dikenal 60 persen pesertanya bisa mencatatkan waktu terbaiknya.
Walaupun ada pelari yang mengaku asal finis di bawah waktu tempuh (cut off time) masing-masing WMM, banyak di antara pelari kantoran atau pelari rekreatif itu berlatih sebagaimana atlet profesional. Beberapa di antaranya berguru pada sejumlah pelatih lari. Berlari 3-5 kali sepekan di lintasan lari seperti trek Stadion Soematri Bojonegoro. Banyak di antaranya yang tinggal di pinggiran Jakarta, berangkat subuh hari agar tidak terlambat tiba di stadion sebelum pukul 05.30 pagi.
Sien Lie misalnya yang bertempat tinggal di Karawaci Tangerang, rela berangkat pukul 04.45 untuk mencapai stadion Soemantri Bojonegoro untuk berlatih bersama komunitas Run Nation. “Berangkat dan adu cepat sama matahari,” kata Sien Lie yang menyisakan London dan Boston untuk meraih Six Star Finisher. Sejauh ini dia mengaku masih akan berusaha untuk mendapatkan BQ. “Belum tahu nih mau BQ di Gold Coast Marathon atau Sydney. Kalau qualified sepertinya lebih bangga. Sejauh ini belum ada niat membeli slot,”katanya.
“Banyak di antara mereka berlatih serius karena ingin meraih catatan waktu terbaik di setiap lomba maraton yang diikutinya,” kata pelatih Andri Yanto, yang banyak menangani pelari kantoran atau pelari rekreasional.
Kebanggan tersendiri
Banyak juga yang berlatih sore hari di berbagai klub kebugaran. Sabrina Sabdin Ghani misalnya, yang tadinya berlatih “asal lari” untuk menyelesaikan tantangan maraton, dia berlatih secara rutin di sekitaran Stadion Utama Gelora Bung Karno setiap Selasa-Kamis beberapa bulan menjelang Chicago Marathon.
“Terbukti berlatih strength ada manfaatnya, di Chicago saya bisa menyelesaikan jarak 42,195 kilometer dengan baik,” ujar Ina yang mendapat catatan waktu terbaiknya di Chicago Marathon lalu dengan catatan 5 jam 4 menit. Dia mengaku sangat bangga dan menjadi kebanggan keluarganya karena bisa berlari maraton di berbagai kota dunia.

Suasana Tokyo Marathon 2018 yang berlangsung 26 Februari 2018 diikuti sekitar 35.000pelari dari berbagai dunia.
Jati berlatih secara disiplin dalalam kurun waktu 4 bulan atau 16 minggu dengan berbagai pola latihan di bawah asuhan Andri Yanto. “Saya juga berbekal latihan hilly satu kali sepekan karena lintasan New York terkenal banyak melewati jembatan dan menanjak,” kata Jati. Cowok yang babak belur dihajar suhu panas saat London Marathon ini mengatakan, berkat latihan yang terstruktur dan disiplin bisa menyelesaikan New York Marathon dalam waktu 3 jam 47 menit 48 detik.
Pelari kantoran yang sudah menyelesaikan 5 WMM itu bertekad untuk mengejar Boston Marathon untuk mendapatkan medali Six Star dengan usaha keras dan mendapatkan waktu terbaik. “Memang berat banget tetapi semua itu harus kita jalani dan menjadi sebuah tantangan,” katanya.
Menurut pelatih lari Andri Yanto, sah-sah saja jika seorang pelari memburu medali Six Star. Ada banyak alasan orang untuk mengejar maraton tertentu, termasuk berlari di enam maraton utama dunia. Selain bisa menjadi ajang pembuktian diri, “pamer” di media sosial, mencari catatan waktu terbaik, mengumpulkan medali, hingga bisa menjadi bahan cerita ke anak cucu bahwa dia pernah lari maraton.
“Semuanya sah dilakukan sepanjang tidak mengorbankan kesehatan,” katanya. Andri mengingatkan, apapun tujuan kita berlari maraton hendaknya berlatih sebaik-baiknya. Berlari sejauh 42,195 kilometer bukanlah perkara enteng-entengan. “Butuh persiapan fisik dan strategi yang matang agar kita bisa berlari nyaman dan tetap sehat,” ujarnya.
Andri mengatakan, untuk mereka yang bisa menamatkan enam WMM, para pelari tentu memiliki kepuasan tersendiri karena ada eklusivitas. Tak semua pelari bisa mengoleksi medali Six Star. Kendala utama adalah di biaya karena harus menyiapkan biaya yang tidak murah untuk lomba di enam kota besar dunia itu. Terlebih untuk lari di Boston Marathon yang membutuhkan charity sekitar 10.000 - 13.000 dolar AS. "Mereka yang tak mau membayar charity harus lolos kualifikasi yang tak mudah,” katanya.
Menghargai pelari
Mereka yang berlari di berbagai WMM itu bukan hanya melulu ingin mendapatkan keenam medali maraton saja. Pengalaman berlari maraton yang sangat berbeda dibandingkan hajatan maraton di Indonesia, menjadi pengalaman hidup yang sangat berharga. Tokyo Marathon misalnya, yang merupakan maraton terbaik di Benua Asia menghadirkan suasana masyarakat Jepang yang sangat menghargai orang lain.

Sejumlah pelari Indonesia yang berhasil menyelesaikan Tokyo Marathon 2018 berposebersama seusai finis di tengah cuaca Tokyo yang dingin.
Pelaksanaan maraton sejak pengambilan race pack, start line yang sangat megah dan luar biasa, serta sambutan masyarakat yang mengelu-elukan pelari sepanjang jalan tanpa putus menjadi kenangan tersendiri. Lintasan maraton Tokyo juga terkenal sangat bersih sebersih-bersihnya dibandingkan 5 WMM lainnya. Selain menyediakan berbagai minuman dan makanan kecil untuk para pelari, mereka juga menyiapkan kantong-kantong kecil untuk memungut bekas bungkus permen atau gel energi pelari.
“Warga New York pun sangat antusias menyemangati pelari. Tidak ada yang mengeluh walaupun jalanan ditutup oleh pemerintah setempat. Semua antusias,” kata Jati.
Pengalaman serupa atas sambutan warga yang belum ditemui di Indonesia itu juga ditemui di Chicago, Berlin dan lainnya. Berbeda dengan warga di Jakarta dan sejumlah kota lainnya yang sangat semangat memencet klakson atau "mengabsen penghuni kebun binatang" jika jalanan mereka dipergunakan sebentar saja untuk ajang lari.
Apresiasi terhadap pelari bukan saja diberikan warga setempat. Penyelenggara WMM juga sangat menghargai usaha para pelari untuk menyelesaikan maraton. Walaupun menetapkan batas waktu tempuh, New York Marathon yang diikuti oleh sekitar 73.000 peserta bersedia menunggu pelari yang tiba di garis finis hingga 12 jam! Bahkan, para pelari keong yang tiba di garis finis itu mendapat apresiasi luar biasa dari panitia maupun penyelenggara.
Bagaimana pun para pelari itu sudah berlatih berbulan-bulan, mengeluarkan dana yang tidak sedikit, datang dari tempat yang jauh serta mengambil hari cuti untuk bisa berlari di ajang maraton. Pelari yang memamerkan medali dengan berbagai gaya dan latar belakang foto di berbagai media sosial akan menjadi kampanye gratis bagi pariwisata kota atau negara yang bersangkutan.
(Agus Hermawan, wartawan Kompas 1989-2019)