Pengembangan Vaksin Nusantara menuai pro dan kontra. BPOM menilai penelitian vaksin ini belum bisa dilanjutkan ke uji klinis fase dua. Standardisasi penelitian jangan diabaikan dan berlaku sama untuk semua penelitian.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Pro-kontra pengembangan Vaksin Nusantara perlu segera diselesaikan agar tidak menjadi kontraproduktif terhadap upaya memenuhi kebutuhan vaksin Covid-19 di Tanah Air. Demi hasil terbaik, standardisasi penelitian harus tetap yang terutama dan tidak boleh diabaikan.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Penny K Lukito menegaskan, standardisasi penelitian berlaku sama untuk semua penelitian vaksin. Penny mengatakan, penelitian vaksin mesti berjalan secara bertahap sesuai standar. Salah satunya, melakukan uji praklinik sebelum diujicobakan kepada manusia dalam uji klinis fase pertama, kedua, dan ketiga.
”Semua tahapan tidak boleh diabaikan dan harus sesuai standar internasional. Hal ini berlaku tanpa pengecualian untuk seluruh pengembangan vaksin,” ujarnya saat meninjau pengembangan vaksin Merah Putih di PT Bio Farma, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (16/4/2021).
Menurut Penny, uji praklinik pada hewan sangat penting untuk memantau respons kekebalan. Hal ini juga demi menjamin perlindungan kepada sukarelawan saat proses uji klinis sehingga tidak menimbulkan dampak negatif.
”Kalau ini (praklinik) tidak dilakukan dan langsung meloncat ke uji klinis, pasti nanti malah ada kesalahan di sana. Penelitian bukan sesuatu yang harus sekali jadi, tetapi melalui tahapan-tahapan dan mendapatkan koreksi untuk diperbaiki,” ujarnya.
Vaksin Nusantara menggunakan campuran sel dendritik yang berasal dari setiap orang yang menjadi sasaran vaksinasi, antigen SARS-CoV-2 spike protein (protein paku), dan GMCSF (sarmogastrim) yang menjadi faktor pertumbuhan. Antigen dan GMCSF saat ini belum diproduksi di Indonesia sehingga perlu diimpor dari Amerika Serikat (Kompas, 16/4/2021).
Uji praklinik pada hewan sangat penting untuk memantau respons kekebalan. Hal ini juga demi menjamin perlindungan kepada sukarelawan saat proses uji klinis sehingga tidak menimbulkan dampak negatif.
Vaksin ini dikembangkan tim dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Kariadi Semarang, dan Universitas Diponegoro. Penelitian disponsori PT Rama Emerald atau PT Aivita Indonesia bekerja sama dengan Balitbangkes Kemenkes.
Pengembangan Vaksin Nusantara dinilai belum memenuhi kaidah cara produksi yang baik (good manufacturing practices/GMP), cara berlaboratorium yang baik (good laboratory practice/GLP), dan cara uji klinik yang baik (good clinical practice/GCP). Standardisasi ini diperlukan untuk menghindari kegagalan saat melakukan uji klinis pada manusia.
Oleh sebab itu, penelitian vaksin ini belum bisa dilanjutkan ke fase dua. ”Itu sudah final. Kami menunggu koreksi yang dilakukan. Apa yang sekarang terjadi (penelitian tetap melanjutkan uji klinis fase kedua), itu sudah di luar BPOM,” ujarnya.
Di Bio Farma, Penny meninjau pengembangan Vaksin Merah Putih yang dikembangkan sejumlah lembaga penelitian dan perguruan tinggi, yaitu Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Airlangga, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan Institut Teknologi Bandung. Setelah melewati uji klinis, vaksin ini akan diproduksi oleh Bio Farma.
”Pengembangan Vaksin Merah Putih dengan berbagaiplatform akan memberikan pengayaan pengalaman dan juga peningkatan kemampuan peneliti Indonesia untuk penguasaan teknologi vaksin di masa depan,” ujarnya.
Penny menjelaskan, Vaksin Merah Putih yang dikembangkan Universitas Airlangga dengan platform inactivated virus ditargetkan menyelesaikan uji klinis pada kuartal IV-2021. Produksi massal diharapkan pada awal tahun depan.
Sementara itu, uji klinis vaksin protein rekombinan yang dikembangkan LBM Eijkman ditargetkan diproduksi massal pada semester II-2022. ”Dalam waktu bersamaan juga disiapkan fasilitas produksinya di Bio Farma,” ujarnya.
Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengatakan, pihaknya menyiapkan sejumlah fasilitas untuk memproduksi Vaksin Merah Putih. Gedung produksi baru juga telah diaktifkan untuk meningkatkan kapasitas produksi vaksin.
”Jika tidak mencukupi, kami akan bekerja sama dengan industri farmasi swasta. Seleksi ketat akan dilakukan. Artinya perlu kolaborasi BUMN dengan swasta,” ujarnya.