Surau, Tradisi yang Lahirkan Tokoh Nasional
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F02%2F510287_getattachment0dfa4ac2-0cbf-476c-93db-009c857564ff501728.jpg)
Murid-murid surau Gadang Haji Miskin di Nagari Pandai Sikek di Kecamatan Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar, sedang mengaji Al Quran dibimbing gurunya, pekan lalu. Surau di Minangkabau memiliki sejarah panjang dan telah melahirkan banyak tokoh bangsa.
”Semua tokoh besar itu memiliki kesamaan, mereka belajar di surau,” ujar Faisal Basyir (70), pengurus surau Inyiak Djambek di Kota Bukittinggi.
- English Version: \'Suaru\', Tradition that Gave Birth to National Figures
Surau telah membuat mereka menjadi tokoh besar. ”Mohammad Hatta pernah berguru di surau Syekh Muhammad Djamil Djambek. Surau berjasa besar buat negara ini,” kata cucu dari Muhammad Djamil Djambek yang kini meneruskan kiprah kakeknya itu.
Ucapan Faisal memang tidak terbantahkan. Sampai menjelang akhir abad ke-20, surau adalah pusat aktivitas pemuda Minangkabau. Surau merupakan tempat membincangkan semua hal, dari masalah agama sampai persoalan kehidupan sehari-hari.
”Surau dapat dikatakan sebagai basic training laki-laki Minang. Ketika remaja, kami wajib pindah ke surau. Kalau tidak, akan ditertawakan. Di surau ada ninik mamak (pemangku adat) yang mengajarkan agama, tata krama, disiplin, tutur kata, norma, budaya, pencak silat, dan persoalan hidup sehari-hari. Kami juga diajari memasak dan menjahit pakaian,” katanya.
Kepandaian memasak itu menyebabkan banyak laki-laki Minangkabau di rantau berprofesi di bidang kuliner. Sementara pelajaran menjahit diberikan dengan filosofi bahwa pemuda Minang tak boleh menunjukkan aibnya kepada orang lain. Baju yang robek adalah aib.
Terkait budaya
Pramono, pengajar di Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, Padang, mengatakan, keberadaan surau terkait dengan budaya Minangkabau yang membagi peran jender secara tegas. Perempuan Minang tinggal di rumah gadang, sementara anak laki-laki sejak akil balig harus hidup di surau yang menjadi rumah komunitas.
Fungsi ini berkaitan dengan ketentuan adat bahwa anak laki- laki tidak mempunyai kamar di rumah gadang di rumah orangtuanya sendiri. Yang mempunyai rumah gadang dan kamar di rumah yang didirikan orangtua adalah anak-anak gadis.
Mengutip Sidi Gazalba (1983) dalam bukunya, Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Pramono mengatakan, surau merupakan peninggalan kebudayaan masyarakat Minangkabau sebelum datangnya Islam.
Surau didirikan oleh suatu kaum sebagai bangunan pelengkap rumah gadang. Di situ tinggal beberapa keluarga yang saparuik (berasal dari satu perut/ keturunan) di bawah pimpinan seorang datuk (penghulu kepala suku).
Dengan masuknya Islam, surau turut mengalami proses islamisasi. Fungsinya sebagai tempat tinggal anak-anak bujang tak berubah. Meskipun demikian, fungsinya itu diperluas menjadi tempat pengajaran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam.
Peran surau mengalami pasang surut sesuai perkembangan zaman. Perkembangan terbesar terjadi pada akhir abad ke-19 atau setelah era gerakan Paderi berakhir. Pada saat itu, kata Pramono, terjadi konflik antara kaum tua yang kukuh mempertahankan tradisi lama dan ulama muda reformis yang menginginkan perubahan mengacu pada kitab dan sunah.
Kedua kubu itu tidak berperang fisik, tetapi melakukan debat terbuka secara moderat dan intelektual. Hebatnya debat itu dituangkan dalam tradisi tulisan, bersahut-sahutan, seperti berbalas pantun.
”Pada masa itu, surau menjadi skriptorium. Ratusan manuskrip kuno tentang perdebatan itu masih tersimpan. Saya pernah membaca manuskrip tua, dalam bahasa Arab, yang berjudul Pedang yang Tajam Menghunus Leher Pendusta yang dibuat kaum reformis, tetapi dibalas kaum tua dengan tulisan Pisau yang Tajam untuk Memotong Lidah yang Ingkar. Sangat luar biasa membacanya,” kata Pramono.
Perselisihan atau silang pendapat buat orang Minangkabau, kata Pramono, bukan merupakan aib, melainkan menjadi sarana dan sumber pembaruan. Tidak heran ada pepatah Minang menyebutkan ”karena kayu bersilang di bawah tungku, maka api akan menyala”.
Lahir di surau
Tradisi debat dan menulis itu, menurut Mas’oed Abidin, pemuka agama Islam Sumatera Barat, terus berkembang sampai menjelang akhir abad ke-20. Surau bahkan menjadi sumber pengetahuan dengan menyediakan media bacaan buat umat.
”Pers Indonesia lahir di surau. Pada 1920 sudah ada majalah Al Manar di surau Thawalib yang ditulis dalam bahasa Arab- Melayu,” kata Mas’oed.
Banyak tokoh besar pers Indonesia berasal dari surau. ”Adinegoro (Djamaluddin Adinegoro), pendiri pers nasional RI, berasal dari surau,” ujarnya.
Belanda sebagai penjajah sangat menyadari kehebatan surau. Belanda, kata Mas’oed, dengan sengaja menggerus peran surau dengan mengedepankan pendidikan formal di sekolah- sekolah.
Dengan kondisi seperti itu, secara perlahan, kata Guru Besar Antropologi Universitas Andalas Nursyirwan Effendi, peran surau semakin mengecil. Menipisnya peran surau juga sejalan dengan perubahan pendidikan agama Islam dalam budaya Minangkabau.
”Dulu, sebelum merantau, pemuda Minangkabau belajar di surau. Kini, orang Minang sudah berubah orientasi. Orangtua mengambil alih peran surau dan kemandirian anak laki-laki sudah dialihkan ke pendidikan formal,” ujar Nursyirwan.
Meski peran surau semakin mengecil, Faisal mengatakan akan tetap mempertahankan suraunya dengan konsep yang disesuaikan dengan zaman. Surau Inyiak Djambek memang telah berubah bentuk menjadi bentuk masjid masa kini, tetapi tetap memiliki konsep yang bertransformasi. Surau itu tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga membuka pintu untuk urusan politik.
Menurut Mas’oed, pada masanya, surau telah terbukti berhasil mengajarkan kearifan dengan sistem pendidikan komunal yang bersifat lokal, tetapi mampu menghasilkan tokoh besar berskala nasional. Sayangnya, pemerintah tidak melihat kelebihan itu. Sebaliknya, pola surau yang bersifat komunal lokal sekarang justru dikembangkan di negara maju, seperti Kanada dan Norwegia.
Jadi, haruskah surau tetap terpinggirkan?