Tensi Pemilu Kian Panas, Pemuka Agama Minta Semua Pihak Taat Aturan
Delapan pemuka agama menyerukan sembilan poin untuk perdamaian bangsa saat Pemilu. Demokrasi harus diwujudkan dengan menjunjung tinggi etika dan moral.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Para tokoh pemuka agama yang tergabung dalam Forum Peduli Indonesia Damai berkumpul bersama dalam Seruan Indonesia Damai di Gedung Karya Sosial, Kompleks Gereja Katedral Jakarta, Rabu (6/12/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Pemuka agama yang tergabung dalam Forum Peduli Indonesia Damai memandang situasi politik dalam Pemilu 2024 kian memanas. Mereka meminta semua pihak, baik peserta, penyelenggara, pemerintah, maupun masyarakat, menaati aturan yang ada. Selain aturan, seluruh pihak juga diminta mengedepankan etika dan moral mereka.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Marsudi Syuhud menyampaikan, benih-benih perpecahan sudah bermunculan, misalnya bentrokan organisasi masyarakat (ormas) di Bitung, Sulawesi Utara, dua pekan lalu. Dalam pemilu, kini sudah muncul propaganda dan persaingan yang tidak sehat via media sosial.
Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Pahami informasi seputar Pilkada 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Sesungguhnya, berbangsa dan bernegara itu harus memegang teguh aturan. Menyiasati aturan itu yang membuat karut-marut, membuat negara ini dalam kondisi bahaya karena aturannya dilanggar. Jika persaingan tetap di dalam ring (aturan), kita bisa melewatinya dengan gembira, senang, tanpa gesekan,” ujarnya dalam konferensi pers Seruan Indonesia Damai di Gedung Karya Sosial, Kompleks Gereja Katedral Jakarta, Jakarta, Rabu (6/12/2023).
Hadir pula dalam forum itu Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Muhammad Izzul Muslimin, Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom, Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Philip K Widjaja, Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Wisnu Bawa Tenaya, Ketua Dewan Majelis Tinggi Konghucu Indonesia (Matakin) Budi S Tanuwibowo, dan Sri Eko Sriyanto Galgendu dari kepemimpinan Spiritual Nusantara.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Barisan saat Kirab Bendera Partai Politik yang mengisi acara Deklarasi Kampanye Pemilu Damai Tahun 2024 di halaman Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Senin (27/11/2023).
Dalam pertemuan itu, delapan pemuka agama di Indonesia menyerukan sembilan poin untuk perdamaian bangsa saat pemilu. Hal itu mulai dari mengutamakan kepentingan umum; meneguhkan konsep Pancasila; mendesak aparat untuk netral; menghindari hoaks; membangun kesiagaan terhadap potensi turbulensi politik; membersihkan korupsi, kolusi, dan nepotisme; mendorong terwujudnya rekonsiliasi nasional; berdoa untuk keselamatan bangsa; hingga mengajak tokoh agama merapatkan barisan.
Menurut Marsudi, persaingan yang tidak sehat bisa merusak dan mengancam kedamaian bangsa. Untuk itu, wajar apabila tokoh agama prihatin dengan kondisi kehidupan berbangsa yang berpotensi destruktif setelah pemilu. Potensi destruktif itu bisa dicegah dan diminimalkan apabila semua pihak berkomitmen menaati aturan yang ada.
Pemilu hanya lima tahun sekali, kita mencari pimpinan yang pas. Ketika pemilu selesai, mari kita letakkan seluruh perbedaan, mari kita bersatu dan mengakui siapa yang sudah terpilih.
Gomar Gultom berpandangan nilai-nilai demokrasi harus selalu dijaga semua pihak. Penyelenggara pemilu juga perlu setara dan adil terhadap seluruh peserta. ”Persaudaraan itu di atas segalanya, di atas kepentingan sektoral. Kita sebagai bangsa harus tetap bersatu. Dengan begitu, kita bisa melewati pemilu dengan damai,” tuturnya.
Sementara itu, Ignatius Suharyo menyampaikan, demokrasi dalam Pemilu 2024 perlu diwujudkan dengan menjunjung tinggi etika dan moral. Pasalnya pemilu hanya berlangsung lima tahun sekali, tetapi pembangunan bangsa yang beradab terus berjalan.
”Saya sedih sekali waktu baca koran yang memelesetkan ’trias politica’ menjadi ’trias koruptika’. Tiga elemen itu seharusnya menjadi lembaga yang memperjuangkan kepentingan bersama, tapi malah korupsinya mengerikan. Mungkin (sebutan) itu dianggap lelucon, tetapi tetap menyedihkan,” ungkapnya.
Menurut Philip K Widjaja, manusia pada dasarnya selalu mencari celah dari aturan-aturan yang ada. Karena itu, penjaga ataupun landasan utama untuk mencegahnya adalah moral dan etika. Semua pihak wajib menjadikan dua hal tersebut sebagai landasan untuk tidak curang.
”Pemilu hanya lima tahun sekali, kita mencari pimpinan yang pas. Ketika pemilu selesai, mari kita letakkan seluruh perbedaan, mari kita bersatu dan mengakui siapa yang sudah terpilih,” ucapnya.