Target APBN 2020 di Bawah Bayang-bayang Ketidakpastian Global
Pelonggaran kebijakan fiskal jadi strategi menjaga momentum pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5 persen tahun 2020. Instrumen APBN digunakan sebagai kontra siklus menggenjot sumber perekonomian dari dalam negeri.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelonggaran kebijakan fiskal jadi strategi menjaga momentum pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5 persen tahun 2020. Instrumen APBN digunakan sebagai kontra siklus menggenjot sumber perekonomian dari dalam negeri.
DPR RI menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 dalam Sidang Paripurna DPR ke-10, Selasa (14/9/2019). Dalam UU APBN 2020, asumsi makro pertumbuhan ekonomi ditetapkan 5,3 persen, inflasi 3,1 persen, nilai tukar Rp 14.400 per dollar AS, serta surat perbendaharaan negara (SPN) 3 bulan 5,4 persen.
Merespons dinamika ekonomi global, asumsi makro untuk harga minyak mentah diturunkan dari 65 dollar AS per barel dalam RAPBN 2020 menjadi 63 dollar AS per barel. Perubahan itu menyebabkan target produksi minyak naik menjadi 755.000 barel per hari dan produksi gas bumi 1,191 juta barel setara minyak per hari.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, indikator asumsi ekonomi makro di bawah bayang-bayang ketidakpastian kondisi global. Meski demikian, penetapan asumsi makro dinilai cukup realistis untuk merespons dinamika yang terjadi. Tekanan ekonomi global harus diantisipasi dan dikelola secara tepat dan terukur.
“Asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen dalam suasana kecenderungan perlemahan ekonomi global akan cukup menantang dan menghadapi risiko ke bawah,” kata Sri Mulyani dalam saat memberikan pendapat akhir pemerintah terhadap UU APBN 2020, Selasa.
Untuk memperkecil risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi, reformasi struktural di bidang sektor riil harus direalisasikan untuk meningkatkan daya tarik investasi, kinerja ekspor, dan produktivitas domestik lainnya. Salah satunya dengan penyederhanaan dan konsistensi regulasi, serta kecepatan pelayanan birokrasi.
Sri Mulyani mengatakan, pelonggaran kebijakan fiskal juga tercermin dalam target defisit APBN 2020 sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen produk domestik bruto (PDB). Pengendalian defisit APBN 2020 untuk menjaga kesinambungan fiskal serta memberikan ruang gerak yang lebih luas dalam rangka menghadapi risiko global tahun 2020.
“Dengan besaran defisit tersebut, pemerintah dapat memberikan stimulus bagi perekonomian melalui program-program pembangunan, penyerapan tenaga kerja, dan pengurangan kemiskinan,” kata Sri Mulyani.
Pendapatan negara dalam APBN 2020 ditargetkan mencapai Rp 2.233,2 triliun, sementara belanja negara Rp 2.540,4 triliun. Belanja pemerintah pusat akan difokuskan untuk pendidikan Rp 508,1 triliun, kesehatan Rp 132,2 triliun, perlindungan sosial Rp 372,5 triliun, infrastruktur Rp 423,3 triliun, serta birokrasi Rp 261,3 triliun.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, postur APBN 2020 didesain untuk mengantisipasi dinamika perekonomian global yang semakin sulit diprediksi. Dampak tekanan ekonomi global diperkecil dengan menjaga konsumsi domestik, terutama kelompok penduduk termiskin.
“Negara yang mengandalkan perekonomian domestik, konsumsi rumah tangga tinggi dan investasi tinggi, biasanya (penurunan pertumbuhan ekonomi) lebih lamban dan bisa lebih bertahan dari tekanan global,” kata Suahasil.
Pemerintah juga memberikan sejumlah insentif fiskal untuk meningkatkan daya tarik investasi. Pada 2020, insentif fiskal yang dipastikan berlaku adalah investment allowance untuk industri padat karya, mini tax holiday untuk investasi di bawah Rp 500 miliar, dan super deduction untuk kegiatan vokasi dan penelitian.
Sumber domestik
Dihubungi terpisah, Kepala Ekonom UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja mengatakan, saat ini stimulus pertumbuhan ekonomi yang paling memungkinkan dari konsumsi rumah tangga. Indonesia masih sulit mengandalkan kinerja ekspor dan investasi di tengah kemelut perang Dagang AS-China dan potensi resesi global.
“Segmen konsumsi domestik yang cukup potensial untuk ditingkatkan adalah kelompok generasi milenial, berusia 19-39 tahun,” kata Enrico.
Peningkatan konsumsi domestik tetap harus dibarengi kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif. Pemerintah bisa memperlebar defisit APBN untuk memberi stimulus tambahan bagi konsumsi domestik dan investasi asing langsung. Defisit APBN di bawah 2,5 persen masih dalam kategori aman.
Menurut Enrico, pelebaran ruang fiskal tak akan memengaruhi kepercayaan investor sepanjang pemerintah mendorong keseimbangan primer ke arah positif. Target keseimbangan primer tahun 2019 defisit Rp 34,7 triliun, sementara tahun 2020 defisit Rp 12 triliun. APBN berfungsi sebagai kontra siklus terhadap risiko global.
Dalam laporan bertajuk ‘Peringatan Pertumbuhan Ekonomi Semakin Rendah’ yang dirilis Kamis (19/9/2019), Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) kembali memangkas pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,1 persen menjadi 5 persen pada tahun 2019 dan 2020.
Risiko perekonomian global makin tinggi karena dipicu drama keputusan Brexit yang berpotensi mengakibatkan resesi di Inggris tahun 2020, perlambatan pertumbuhan ekonomi China, dan peningkatan utang yang tinggi serta kualitas kredit yang memburuk. Kolaborasi kebijakan fiskal dan moneter jadi kunci untuk menarik investasi.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memangkas pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,1 persen menjadi 5 persen pada tahun 2019 dan 2020.
Ketua Badan Anggaran DPR RI Kahar Muzakir mengatakan, alokasi belanja pemerintah yang jauh lebih tinggi dari penerimaan negara menyebabkan defisit anggaran yang akan menjadi bahan untuk menyerang pemerintah. Untuk itu kebijakan fiskal yang ekspansif mesti dibarengi strategi memperkecil defisit keseimbangan primer melalui peningkatan kualitas belanja.
“Pemerintah juga harus mencari alternatif solusi untuk bisa keluar dari praktik pembiayaan utang, yang berutang untuk membayar utang,” kata Kahar.