Bom bunuh diri di gerbang Gereja Katedral Makassar menguatkan sinyalemen bahwa ancaman terorisme tak surut di tengah pandemi Covid-19. Karena itu, upaya pencegahan di berbagai aspek harus tetap intensif.
Oleh
Iqbal Basyari/Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
KOMPAS/RENY SRI AYU
Suasana di depan Gereja Katedral, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021) pasca-bom bunuh diri.
Ancaman aksi teroris di tengah pandemi Covid-19 sudah kerap disuarakan pejabat negeri ini. Penangkapan puluhan terduga teroris oleh aparat kepolisian sejak awal pandemi merebak kian menunjukkan adanya ancaman itu. Ancaman pun menjadi semakin nyata saat bom bunuh diri terjadi di gerbang Gereja Katedral Hati Kudus Yesus, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021). Di tengah fokus bangsa menghadapi pandemi, teroris tak menyurutkan niatnya, bahkan mereka memanfaatkannya untuk kepentingan teror.
Sejak pandemi Covid-19 merebak di Tanah Air, Maret 2020, tak sedikit yang mengira akan berimbas pula pada melemahnya ancaman terorisme. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Aparat kepolisian menangkap banyak terduga teroris di berbagai tempat di Tanah Air. Tidak hanya itu, di banyak penangkapan, sejumlah material untuk kepentingan teror ditemukan oleh aparat. Mereka pun disebut telah menyiapkan aksi teror.
Selain itu, kelompok teroris terus melebarkan sayapnya. Perekrutan teroris tak berhenti di tengah pandemi. Kontak fisik yang dibatasi selama pandemi tak menghentikan upaya mereka terus merekrut teroris baru.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar saat dihubungi dari Jakarta, Senin (29/3/2021), mengatakan, di masa pandemi, kegiatan kelompok teroris yang paling meningkat adalah radikalisasi dengan memanfaatkan media sosial. Perekrutan dilakukan dengan kombinasi antara penawaran narasi melalui media sosial dan pertemuan tatap muka.
”Mereka tidak terasa masuk ke dalam sistem yang dibentuk, terutama oleh para senior,” katanya.
Menurut Boy Rafli, umumnya perekrutan terjadi di antara sel-sel yang telah terbentuk. Selain itu, target perekrutan juga kerap menyasar keluarga muda yang berusia di bawah 30 tahun karena dinilai lebih mudah dipengaruhi.
Berdasarkan laporan kajian The Habibie Center bertajuk ”Pandemi, Demokrasi, dan Ekstremisme Berkekerasan di Indonesia” yang dipublikasikan 22 Februari 2021, kelompok ekstremisme dengan kekerasan menganggap bahwa masa pandemi adalah saat tepat untuk melakukan serangan balik dan perekrutan.
Kompas/Wawan H Prabowo
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (22/3/2021).
Mereka melakukan upaya perekrutan dengan menarik simpati melalui beragam aksi, terutama yang terkait Covid-19, seperti membuka pusat bantuan kemanusiaan dan pendidikan alternatif yang murah untuk masyarakat.
Pertemuan secara daring berperan penting untuk konsolidasi kelompok, misalnya kegiatan baiat. Namun, bukan berarti pertemuan secara luring atau tatap muka langsung tak mereka lakukan.
Pengajar FISIP Universitas Sebelas Maret, Aris Arif Mundayat, melihat, kelompok teroris melakukan perekrutan yang lebih masif di tengah pandemi. ”Pola perekrutan dan radikalisasi yang digunakan tetap sama seperti sebelum pandemi, tetapi intensitasnya justru semakin kuat karena aksi dilakukan di bawah permukaan dan tidak terdeteksi dari luar,” ucapnya.
Untuk kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD), mereka menyasar pasangan muda dengan melibatkan anak dan keluarga. Pelibatan keluarga dinilai memiliki efek psikologis yang lebih besar dibandingkan dengan hanya dilakukan laki-laki atau suami.
”Pesan yang ingin disampaikan bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat sudah bereaksi. Mereka sudah merasakan situasi sekarang ini sehingga harus ada aksi. Yang tadinya tunggal menjadi ’kami’ dalam artian keluarga,” kata Aris.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Petugas memeriksa salah satu kendaraan di lokasi tempat tinggal terduga teroris yang berada di Jalan Raya Condet, Kramat Jati, Jakarta Timur, Senin (29/3/2021).
Adapun dari sisi pendanaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat, selama 2020, ada lebih dari 1.300 transaksi mencurigakan yang diduga terkait dengan aliran dana terorisme. Transaksi biasanya menggunakan metode yang bervariasi, seperti transfer bank, anjungan tunai mandiri, transaksi nontunai, serta penukaran mata uang asing.
Hal ini menunjukkan pendanaan bagi teroris juga tak surut saat pandemi.
Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri bahkan mengungkap modus pengumpulan dana melalui kotak amal. Terdapat kotak amal yang ditaruh di tempat-tempat keramaian yang diduga digunakan untuk mendanai aksi terorisme. Terakhir, pada 26 Maret, aparat menyita 500 kotak amal di Deli Serdang, Sumatera Utara, yang tersebar di minimarket, pasar, dan rumah makan.
Deradikalisasi
Dengan masih intensnya pergerakan kelompok teroris di tengah pandemi, ditambah lagi ancaman teror yang kian nyata, tak ada jalan lain kecuali upaya pencegahan terorisme pun harus diintensifkan.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Aparat Kepolisian dari Markas Besar Polri melihat kondisi bungker atau ruang bawah tanah di rumah tersangka terorisme Taufik Bulaga alias Upik Lawanga di Desa Sri Bawono, Kecamatan Way Seputih, Kabupaten Lampung Tengah, Lampung, Sabtu (19/12/2020). Ruang tersebut diduga digunakan pelaku saat merakit dan mencoba senjata api.
Selain pentingnya aparat kepolisian untuk terus menelusuri dan menindak mereka yang menjadi bagian dari jaringan teroris, menurut Aris, di masa pandemi Covid-19, aktivitas kelompok teror tetap eksis juga karena tafsir yang mengatasnamakan agama tetap ada.
Untuk mengatasinya, diperlukan proses deradikalisasi yang bertujuan memutus mata rantai melalui penguatan tafsir dari kelompok mayoritas, seperti organisasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
”Selain itu, pemerintah harus mengurangi masalah-masalah sosial, seperti ketimpangan ekonomi, sosial, kultur, dan politik, agar tafsir kelompok teroris tidak lagi relevan di masa kini,” katanya.
Di luar itu, peneliti terorisme dan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, menekankan pentingnya literasi digital. Dengan demikian, publik yang kini semakin aktif di dunia maya dapat terhindar dari upaya-upaya perekrutan oleh kelompok teroris yang juga kian intens di dunia maya.
CAHYO HERYUNANTO
media sosial
Literasi digital tersebut dapat dilakukan salah satunya dengan melibatkan mantan narapidana terorisme. Sebab, mereka adalah orang yang telah masuk dan mengalami langsung di dalam jaringan teroris. Mereka diharapkan dapat mengarahkan orang lain yang mungkin tertarik dan tengah mencari informasi terkait terorisme agar tidak tergelincir masuk di dalamnya.
”Maka, orang-orang yang berperan sebagai agen perubahan itu perlu diperbanyak. Pemerintah sudah tahu hal itu dan mesti terus melakukan upaya melawan narasi yang tidak benar,” kata Noor Huda.
Deteksi dini
Terkait dengan hal itu, menurut Boy Rafli, pencegahan terorisme terus dilakukan dengan melibatkan masyarakat. Kerja sama berbagai elemen masyarakat, termasuk dari aparatur negara, terus ditingkatkan untuk melakukan deteksi dini hal-hal yang berkaitan dengan radikalisasi di masyarakat, terutama yang menyasar generasi muda.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar (tengah) memberikan keterangan pers di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Sabtu (6/6/2020). Boy bersama rombongan memantau kondisi di Daha Selatan pasca-aksi penyerangan terhadap polisi di sana.
Di sisi lain, lanjut Boy Rafli, BNPT terus melakukan kontra-radikalisasi melawan narasi kelompok teroris, yakni melalui narasi semangat hidup toleran, meningkatkan wawasan kebangsaan, dan hidup harmonis.
Narasi tersebut disuarakan bagi kelompok masyarakat yang berpotensi terpapar paham radikalisme.
Kemudian, bagi para narapidana teroris, BNPT tak henti-hentinya melakukan deradikalisasi. Harapannya, mereka tak kembali menjadi teroris ketika lepas dari lembaga pemasyarakatan. Bahkan, mereka diharapkan bisa menjadi aktivis perdamaian dengan menyadarkan teman-temannya yang teroris atau mereka yang rentan menjadi teroris.