Terpanggil untuk berbuat sesuatu bagi tempat kelahirannya, Dwi Adi Kusuma alias Ading (55) fokus memperkenalkan dan mengangkat kain tenun Nusa Tenggara Barat, khususnya Lombok. Hasil kerajinan petenun NTB itu jarang mendapat perhatian banyak kalangan. Karena itu, dalam pameran serta peragaan busana di dalam dan luar negeri, ia mengusung tenun Lombok lewat produk ”fashion”-nya.
Menurut Ading, warga Jalan Raya Manyar, Surabaya, Jawa Timur, dibandingkan dengan daerah lain, produk kain tenun songket asal NTB tidak banyak yang tahu. Sedikit pula pihak yang menaruh perhatian dan berupaya mempromosikan produk tenun daerah itu, seperti tenun songket, tenun ikat, ataupun batik sasambo. Kata itu merupakan singkatan dari etnis yang ada di NTB, yakni suku Sasak di Lombok, Samawa (Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat), serta suku Mbojo (Dompu dan Bima).
Padahal, dengan ciri khas motif dan ragam hiasnya, produk tenun itu memiliki nilai kompetitif dengan produk tenun Nusantara lainnya. Ading yang lahir di Mataram, Lombok, mewujudkan hubungan emosional dengan tanah kelahirannya lewat produk busana. ”Saya punya keterampilan bidang fashion, lewat fashion-lah saya menyumbang untuk daerah,” katanya.
Karya-karya Ading, anggota Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia Surabaya, pun bernuansa adat serta budaya etnis di Pulau Lombok dan Sumbawa itu. Karyanya umumnya busana muslimah yang simpel dan elegan. Misalnya, blazer tanpa kancing di bagian depan berlengan tiga perempat berbahan dasar kain songket Lombok bermotif keker (burung merak berhadapan) dengan dominan warna dasar biru tua dan oranye. Blazer dipadukan dengan warna cerah: rok panjang warna kuning dan hijab merah keoranyean.
Model blazer yang sama juga berbahan songket Lombok dengan motif buah nanas yang berwarna biru. Blazer ini dipadukan dengan baju abaya terusan berwarna putih yang memberikan kesan segar dan tidak monoton pada busana. Ia juga memodifikasi tenun ikat sebagai busana kerja wanita.
Buku dokumentasi
Ading mendokumentasikan rancangannya dalam buku yang pencetakannya dibiayai dari kantong pribadi. Buku itu—banyak beredar di pasaran, seperti toko buku Gramedia dan laris terjual—antara lain Exotisme Tenunan Lombok, Batik For Kid, Busana Tenun Kerja, Busana Muslimah Tenun, dan Batik Sasambo NTB.
Lewat batik sasambo NTB, Ading mengeksplorasi motif hias batik sasambo untuk busana muslim dan pakaian yang dikenakan pada acara pesta, formal, dan santai. Misalnya blus panjang motif daun bebele (sejenis tumbuhan merambat) bernuansa hitam dan jingga yang dipadukan dengan mini dress warna hitam atau jingga. Dengan variasi garis pada lipit (lipitan kain) kancing dan lengan, batik potongan longgar dan panjang ini tampak elegan.
Kreasinya yang lain adalah mini dress dengan model kemben, berbahan kain batik sasambo dengan motif kembang ketujur (turi) berwarna ungu dan kuning mendominasi lembar kain. Mini dress dipadukan dengan blazer warna ungu mencerminkan kesan anggun.
Ading menampilkan hasil rancangannya itu lewat berbagai acara fashion show, seperti Indonesian Fashion Week tahun 2014 di Jakarta. Tahun 2014 di Surabaya, Ading meluncurkan karyanya bertema ”Mandalika” (2014), ”De Dare I” (2016), dan ”De Dare II” pada 2017.
Mandalika diambil dari cerita rakyat Lombok dan De Dare (dedare) berarti ’gadis’. Dalam acara Hari Ulang Tahun II Komunitas Cinta Berkain, 14 Oktober lalu, Ading menampilkan kreasi busana muslim, yaitu tenun songket yang kaya motif dan warna sebagai bawahan/rok, dipadu dengan atasan/baju berwarna pastel dan lembut.
Bahan baku songket, tenun ikat, dan batik sasambo umumnya didatangkan dari Lombok. Dia bekerja sama dengan seorang rekannya di Mataram untuk menyeleksi motif dan membeli bahan baku ke perajin di Lombok. Ia juga memanfaatkan perajin batik Jawa Timur untuk membuat batik sasambo sesuai dengan desainnya. Untuk menjahit rancangannya, Ading memiliki lima penjahit khusus.
”Karena kain tenun memiliki karya seni sangat tinggi, bahkan perajin mengerjakan selembar kain berbulan-bulan, saya usahakan tidak memotongnya. Produk rok dan bawahan yang saya bikin tanpa memotong kain tenun, jadi praktis dipakai,” ujarnya.
Mancanegara
Produk busana Ading mengacu selera pasar dan tren mode terkini. Ia membidik konsumen menengah-atas. Harga jual produknya bergantung pada bahan yang digunakan, tetapi kisarannya Rp 2,5 juta-Rp 5 juta. Tidak heran produk-produknya menjadi buruan para konsumen.
”Setelah acara fashion, sudah ada yang Whatsapp atau mengirim SMS untuk memesan produk yang tadi dipakai peragawati nomor dua, nomor tiga,” kata Ading yang lulusan Fakultas Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.
Dengan desainnya yang feminin dan elegan, Ading kini termasuk desainer yang produktif sehingga kerap mengikuti kegiatan fashion show bersama desainer-desainer Jawa Timur di dalam dan luar negeri, seperti Hongkong Fashion Week (2012 dan 2013) serta Singapura (2016).
Karier Ading di dunia fashion dimulai pada 1999 setelah mengikuti sekolah mode tahun 1992 meski bidang ini menjadi hobinya sejak kecil. Ia sering mendesain baju buat anaknya, Hardiyanti Isyana Dewi, saat berusia lima tahun. Orangtua siswa yang melihat desain pakaian putrinya lalu memesan baju dengan desain sejenis. Sejalan dengan bertambahnya pelanggan, Ading membuka butik Isyana Moslem Wear pada 2005 dengan artis Astri Ivo sebagai ikon busananya. Sempat pula ia membuka butik Dewi-K, mengisi outlet di salah satu mal ternama di Yogyakarta.
Kegiatannya sempat vakum selama beberapa tahun, kemudian aktif lagi pada 2012. Kali ini ia fokus memproduksi busana berbahan kain tenun asal NTB. Bahkan, dengan kemampuannya, Ading mendesain batik sasambo dengan motif hias yang umumnya berwarna terang, dikreasikan menjadi warna pastel yang lebih lembut.
Variasi warna itu ditempuh untuk menjawab selera konsumen yang berbeda. ”Yang terpenting, saya ingin tenun NTB berdiri sejajar dengan tenun di Nusantara, bahkan dikenal masyarakat dunia mancanegara,” kata Ading.