Meneropong Ombak Dunia di 2021
Pandemi Covid-19 masih akan menjadi tantangan sepanjang 2021. Vaksinasi belum menjadi kata akhir dari pandemi. Munculnya varian baru dari virus ini makin menegaskan pandemi Covid-19 masih menjadi perhatian besar.
Setelah mengalami tahun yang berat dan panjang pada 2020, tentu dunia berhak untuk berharap akan adanya perbaikan di 2021. Namun, meski harapan itu telah terwakilkan dengan mulai hadirnya vaksinasi di sejumlah negara, situasi pandemi belum juga terkendali.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2Feffa80cf-2bff-4b0f-be18-7f9c38a7af60_jpg.jpg)
Pemberian vaksin Covid-19 kepada warga menjadi babak baru dalam melawan pandemi. Namun, situasi tidak akan lebih baik dalam sekejap tanpa pelacakan kontak dan penegakan protokol kesehatan yang ketat. Tanpa upaya itu, perang melawan pandemi bisa berlangsung lama.
Belum terkendalinya pandemi ini tidak lepas dengan munculnya varian baru virus Covid-19. Hal ini mesti menjadi pengingat bahwa dunia harus tetap waspada. Tak ayal, 2021 pun kemungkinan tak akan jauh berbeda dengan tahun 2020 yang penuh ketidakpastian dan ketegangan.
Covid-19 akan tetap menjadi salah satu isu utama di 2021. Seperti telah diketahui sebelumnya, Covid-19 merupakan hal yang paling mendapat perhatian selama 2020. Dari segi kesehatan, pandemi Covid-19 telah menyebabkan sekitar 90 juta orang terinfeksi dan hampir 2 juta di antaranya meninggal.
Tidak hanya itu, dengan tingkat persebaran dan kematian di kisaran 700.000 kasus dan 10.000 kasus tiap hari, dapat dipastikan bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan tetap menyatakan Covid-19 sebagai keadaan darurat kesehatan publik internasional (Public Health Emergency of International Concern/PHEIC).
Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan WHO Mark Ryan menyatakan bahwa tahun kedua Covid-19, terutama di masa awal tahun 2021, akan semakin sulit dikendalikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Di satu sisi, dunia pantas untuk berharap bahwa situasi pandemi akan semakin terkendali pada 2021 dan tahun-tahun berikutnya dengan telah dimulainya proses vaksinasi di sejumlah negara.

Seperti diketahui, semenjak Inggris memulai vaksinasi pada Desember silam, belasan negara lain telah mengikuti langkah tersebut dengan mulai menyuntikkan vaksin buatan Pfizer, Moderna, AstraZeneca, dan BioNTech.
Tak hanya itu, munculnya inisiatif COVAX dari Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut memastikan bahwa vaksin akan tersedia secara lebih merata di seluruh penjuru dunia ketimbang vaksin penyakit lain seperti flu burung dan flu babi.
Meskipun begitu, vaksinasi sendiri merupakan proses yang memakan waktu dan persiapan yang panjang dan tak mudah. Tak seperti makanan, distribusi vaksin menjadi tantangan logistik yang berat.
Terlebih lagi, beberapa jenis vaksin seperti vaksin besutan Pfizer membutuhkan ruang penyimpanan dengan suhu serendah minus 70 derajat celsius. Maka, distribusi vaksin, apalagi di negara dengan luasan yang besar serta infrastruktur rantai dingin yang tak mumpuni, memiliki risiko gagal yang tinggi.
Sementara itu, tantangan vaksin juga terletak pada penerimaan masyarakat. Meskipun di sebagian besar negara vaksin diberikan secara cuma-cuma, tak semua warga mau untuk divaksinasi. Bahkan, menurut data dari Gallup, lebih dari sepertiga warga negara AS saja tak mau divaksinasi.
Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran mengingat keberhasilan vaksinasi sangat dipengaruhi oleh banyaknya populasi yang divaksinasi. Apabila populasi negara yang divaksin kurang dari 70 persen, bisa jadi efek imunitas kelompok (herd immunity) yang diharapkan tak terjadi setelah program vaksinasi dilaksanakan.

Terlebih lagi, masih ada pertanyaan yang mengambang terkait dengan lama kekebalan tubuh yang dapat dihasilkan dari proses vaksinasi dan bagi mereka yang sebelumnya terpapar Covid-19. Hingga kini, orang yang sebelumnya telah terpapar Covid-19 dan sembuh diperkirakan memiliki kekebalan natural atas virus tersebut maksimal hanya selama 1 tahun. Maka, mereka yang telah divaksinasi pun diperkirakan akan memiliki kekebalan yang lebih kurang sama.
Terakhir, mutasi Covid-19 yang baru ditemukan di Afrika Selatan juga bisa menjadi batu sandungan terhadap suksesnya program vaksinasi di seluruh dunia. Menurut data dari The New York Times, varian virus baru ini telah menjalar hingga Inggris di mana 60 persen dari kasus infeksi Covid-19 baru di Inggris pada pertengahan Desember 2020 merupakan varian baru tersebut.
Parahnya, mutasi-mutasi virus ini berpotensi untuk melemahkan kekuatan vaksin seperti mutasi B.1.1.7 yang ditemukan di Inggris. Tak ayal, langkah-langkah seperti memakai masker, social distancing, testing, dan pelacakan kontak akan tetap menjadi senjata utama dalam memerangi penyebaran Covid-19 sepanjang tahun 2021 hingga waktu yang tak dapat ditentukan.
Pemerintahan Biden
Selain perihal Covid-19, dengan mulai menjabatnya Joe Biden sebagai Presiden ke-46 AS, isu jalannya pemerintahan AS pun akan mendapat perhatian pada 2021. Dalam konteks hubungan internasional, naiknya Biden juga berarti kembalinya AS ke dalam panggung internasional setelah empat tahun di bawah jargon ”America First” yang menarik mundur posisi negara tersebut.

Pengunjuk rasa pendukung Donald Trump menerobos ke dalam Gedung Capitol di Washington DC, AS. Mereka menolak kemenangan Joe Biden sebagai presiden.
Hal tersebut ditandai dengan langkah Biden yang mengumumkan untuk segera membawa AS kembali ke perjanjian iklim Paris serta kembali membangun upaya non-proliferasi nuklir di Iran dan Korea Utara. Tidak hanya itu, langkah Biden untuk membawa AS untuk kembali aktif di dalam politik internasional juga kemungkinan akan lebih mudah mengingat kemenangan Partai Demokrat di Georgia yang memastikan kuasa partai tersebut atas Ruang Senat.
Meskipun begitu, bukan berarti Biden akan banyak melakukan langkah dramatis dalam hal kebijakan internasional AS. Hal ini karena situasi pandemi di AS yang masih sangat gawat, yakni dengan kasus positif harian di kisaran lebih dari 250.000 orang per hari.
Biden tentu harus berupaya sangat keras untuk bisa mengendalikan persebaran virus tersebut di AS. Ditambah lagi, program vaksinasi yang digadang-gadang menjadi solusi pun terancam gagal di AS. Hal ini disebabkan masih tingginya penolakan masyarakat untuk menerima vaksin Covid-19.
Selain itu, proses transisi dari pemerintahan Donald Trump ke Biden pun berpotensi kembali memicu persoalan. Sebelumnya, ribuan orang merangsek masuk ke Capitol Building (gedung Senat dan Kongres AS) saat sidang tengah dilangsungkan.

Dalam foto 6 Januari 2021 ini, pendukung Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengikuti rapat umum di Washington, AS. Pengguna media sosial sayap kanan berminggu-minggu secara terbuka mengisyaratkan dalam unggahan mereka bahwa kekacauan akan terjadi di Gedung Capitol saat Kongres bersidang untuk mengesahkan hasil pemilu.
Meski situasi akhirnya dapat dikendalikan oleh aparat penegak hukum, peristiwa ini bisa menjadi pertanda bahwa masa awal pemerintahan Biden akan dihantui oleh perpecahan di akar rumput dan konflik horizontal.
Maka, dengan banyaknya persoalan dalam negeri yang harus diselesaikan, Biden tak akan banyak ambil pusing soal politik internasional. Dalam hal diplomasi AS di Eropa dan Timur Tengah, Biden akan tetap menjaga jarak.
Biden akan menegaskan dukungan kekuatan militer AS di NATO dan meningkatkan kehadiran AS dalam diplomasi perdamaian di Timur Tengah. Maka dari itu, situasi hilangnya aktor ”polisi dunia” yang dirasakan selama 2020 pun kemungkinan akan terulang lagi di 2021.
Dominasi China
Hal serupa berlaku dalam hal hubungan AS-China. Agaknya, pola hubungan benci dan rindu yang sebelumnya telah dimulai oleh Trump akan tetap dipertahankan Biden. Tak ayal, tidak tertutup kemungkinan hubungan dagang di antara kedua negara tersebut akan tetap tegang setidaknya hingga empat tahun mendatang.
Maka dari itu, tahun 2021 dapat menjadi awal dimulainya era ”one world, two systems” di mana China mulai memantapkan posisinya sebagai pemimpin dunia dalam hal perekonomian. Hal ini selaras dengan komitmen serta upaya China untuk independen dari teknologi serta rantai pasok AS pada 2035.
Kemandirian China ini tentu akan membuat posisi tawar negaranya semakin kuat mengingat sanksi dan embargo ekonomi bisa jadi tak akan mempan untuk memengaruhi kebijakan China, terutama terkait dengan isu pelanggaran HAM dan geopolitik di Asia Timur.

Dalam gambar yang diambil pada 29 April 2020, seorang insinyur melihat sel-sel ginjal monyet ketika melakukan tes pada vaksin eksperimental untuk virus korona Covid-19 di dalam laboratorium Ruang Budaya Sel di fasilitas Biotech Sinovac di Beijing.
Kemenangan China atas dunia Barat ini sebetulnya telah tampak saat negara tersebut dapat membuktikan resiliensinya terhadap hantaman pandemi Covid-19. Ketika negara-negara dunia pertama masih kalang kabut mengatasi persebaran Covid-19 yang tak kunjung reda, China telah berhasil menaklukkan virus tersebut.
Kegiatan perekonomian yang sebelumnya mandek pun sedikit demi sedikit telah berhasil dihidupkan, menjadikan China sebagai model percontohan kebangkitan ekonomi pascapandemi. Tak ayal, negara ini pun menjadi salah satu yang masih menikmati pertumbuhan ekonomi meski hanya berada di angka 1,8 persen, jauh dari target yang dicanangkan, yakni sebesar 6 persen.
Seiring dengan menguatnya posisi China dalam hal perekonomian, gaya diplomasi negara ini pun kian agresif. Hal ini terlihat dari pola diplomasi China selama 2020 yang cenderung urakan, seperti memantik ketegangan dengan India di wilayah Kashmir dan Laut China Selatan.

Pasar kaget yang menjajakan pakaian di sebuah jalan di Wuhan, China, Senin (8/6/2020). China menyerap 30 persen impor dari negara-negara rival geopolitik di kawasan, seperti dari Taiwan, Vietnam, dan Australia.
Tak hanya itu, China juga tak segan untuk menekan pihak lain yang berseberangan dengannya. Hal ini tampak dari langkah China yang memberi sanksi ekonomi kepada Australia setelah tuntutan negara tersebut untuk menginvestigasi virus Covid-19 di Wuhan dan juga tekanan terhadap Taiwan dan Hong Kong yang terus memperjuangkan kemerdekaannya.
Apabila tren ini terus berlanjut, dunia akan menyaksikan bagaimana pandemi Covid-19 mengubah tatanan yang telah terbentuk paling tidak selama lebih dari enam dekade. Sebelumnya, pasca-Perang Dunia II dan Perang Dingin, secara praktis kekuatan di panggung hubungan internasional selalu didominasi oleh negara-negara maju di belahan bumi bagian barat.
Namun, dengan China yang relatif lebih berhasil mengendalikan pandemi ketimbang negara-negara tersebut, besar kemungkinan ”Negara Tirai Bambu” inilah yang nantinya menjadi nakhoda dunia secara de facto. (LITBANG KOMPAS)