Mahfud MD: Relaksasi Pembatasan Sosial Tak Bisa Tunggu Sampai Warga Tertib
Dalam wawancara khusus bersama Kompas, Menko Polhukam Mahfud MD menceritakan soal pengambilan keputusan pelonggaran pembatasan sosial. Dia juga mengungkapkan dari mana gagasan relaksasi pembatasan sosial itu bermula.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah rencana pemerintah menerapkan normal baru menghadapi pandemi Covid-19, muncul kritik terkait apakah kondisi normal baru itu tepat diterapkan saat ini di Indonesia. Namun, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan, keputusan itu diambil setelah mendengar banyak masukan dan memperhitungkan kondisi kesehatan, ekonomi, dan dampak sosial ke masyarakat.
Dalam wawancara khusus bersama Kompas, Selasa (26/5/2020), di Jakarta, Mahfud MD juga menegaskan, tidak ada simpang siur informasi dan sikap para menteri terkait relaksasi pembatasan sosial dan normal baru. Sebab, gagasan relaksasi itu muncul dari Presiden Joko Widodo. Wawancara itu diawali dengan paparan Mahfud mengenai hal-hal yang sudah dilakukan pemerintah, yang dinilainya sudah responsif sejak masa-masa awal virus korona baru penyebab Covid-19 mewabah di Wuhan, China.
Pemerintah, menurut Mahfud, kemudian menjemput WNI yang terjebak di Wuhan. Dia menyebut pemerintah tidak pernah meremehkan Covid-19, tetapi saat awal bersikap tidak panik. Pemerintah menyiapkan tempat karantina, rumah sakit khusus Covid-19, serta membeli perlengkapan medis untuk menunjang penanganan Covid-19.
Pemerintah kemudian menerapkan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB untuk menekan penularan pandemi Covid-19. Pada saat yang sama, pemerintah juga menyiapkan jaring pengaman sosial dalam bentuk bantuan sosial kepada masyarakat.
Berikut petikan paparan dan wawancara dengan Menko Polhukam Mahfud MD terkait normal baru.
Mahfud: Awal Mei, kira-kira tiga pekan lalu, saya, Pak Luhut (Menko Kemaritiman dan Investasi), Pak Muhadjir (Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan), dan Pak Airlangga (Menko Perekonomian), didampingi Pak Pratikno (Mensesneg) dan Menteri Kesehatan Terawan, dipanggil Presiden di Istana Bogor. Presiden menyampaikan, kita harus mulai memikirkan relaksasi. Jadi dari Presiden aslinya (gagasan relaksasi), bukan menterinya simpang siur.
Oleh sebab itu, ketika orang-orang bilang simpang siur, kami tidak pernah bilang. Karena kami dapat langsung dari Presiden. Kenapa (perlu relaksasi) kata Presiden? Kita sekarang perang melawan korona harus soal kesehatan nomor satu. Tapi enggak bisa kita menolong (kalau ekonomi terhenti), orang bisa frustrasi. Mau kerja enggak bisa. Menjual tidak bisa. Membeli tidak bisa. Kalau begini, kita harus adakan relaksasi di bidang ekonomi.
Lalu, bantuan sosial supaya dipercepat. Saya tidak mau tepat, tetapi cepat, kata Presiden. Kalau disuruh pilih cepat atau tepat, saya memilih cepat. Soal salah, nanti. Yang penting rakyat terselamatkan. Maka, waktu itu saya lempar wacana kemungkinan relaksasi. Orang ribut.
Jadi waktu itu istilah relaksasi ribut, kan. Diserang, lalu berubah. Istilahnya bukan relaksasi, tapi pengurangan pembatasan. Tapi sama saja sebenarnya. Apa itu pengurangan pembatasan? Diserang lagi. Kemudian new normal, normal baru. Sekarang berubah lagi. Gerakan produktif dan aman Covid-19. Sebenarnya isinya sama. Longgarkan, longgarkan, longgarkan. Itu yang terjadi.
Baca juga : Menpan dan RB Terbitkan Panduan Normal Baru bagi ASN, Berlaku Mulai Pekan Depan
Kalau belum terbentuk kultur baru jaga jarak, dikhawatirkan muncul gelombang kedua Covid-19, dengan jumlah meningkat dan rumah sakit kewalahan. Bukankah itu memberi dampak, secara ekonomi juga terpukul?
Ya, itu juga sudah didengar. Pak JK (mantan wapres/Ketua Umum PMI Jusuf Kalla) juga menyampaikan itu. Ini, kan, perang melawan korona. Maka (tangani) korona dulu, jangan ekonomi. Ekonomi akan hidup sendiri kalau korona teratasi. Tapi ada yang bilang, ini kapan teratasi? WHO saja bilangnya tidak jelas, enggak bakal hilang. Lalu, ada yang bilang, orang bisa mati karena lockdown. Kekerasan di rumah tangga naik. Orang putus asa, imunitas hancur.
Ada yang bilang begitu. Saya sependapat dengan itu. Jadi pendapat seperti itu macam-macam. Ulama bilang begini. Kenapa masjid ditutup, tetapi mal dibuka. Ada ulama lain menyampaikan, Islam memerintahkan orang menghindari penyakit. Jadi ulama beda-beda, dokter beda-beda, sosiolog beda-beda. Kebetulan Presiden berada dalam pikiran, enggak, ini harus bersama (penanganan kesehatan dan ekonomi).
Apakah pertimbangan hanya karena kemampuan ekonomi?
Bukan itu penyebabnya. Bahwa ada kemampuan ekonomi (yang dipertimbangkan), iya. Apakah itu penyebabnya? Kebijakannya karena banyak faktor. Seperti saya sampaikan.
Apakah ada kekhawatiran chaos?
Kami tidak pernah bicarakan itu. Kami ikuti dari media sosial saja. Ada yang bilang pemerintah harus jatuh. Kami tidak bahas itu secara resmi. Ada yang mengikuti perkembangan itu, tetapi kami tidak pernah bahas chaos.
Secara umum, bagaimana kondisi politik dan keamanan?
Sejauh ini masih okelah. Tetapi kita tidak tahu juga kalau masyarakat lapar, kan? Apa saja bisa dilakukan. Orang bisa diprovokasi, diberi uang untuk ayo begini. Bisa saja. Tapi kami enggak pernah membahas itu.
Kunci penanganan penyebaran Covid-19 soal jaga jarak. Bagaimana beraktivitas dengan membangun kebiasaan itu?
Itu yang disebut new normal. Sudah ada peraturan Menteri Kesehatan untuk memberi panduan. Di industri caranya begini. Di tempat hiburan seperti ini. Di tempat transportasi umum juga sudah diatur. Itu tinggal masyarakat disiplin. New normal itu kita berdamai. Sekarang menjadi berita, pernyataan saat saya ceramah di UNS (Universitas Sebelas Maret, Solo). Dengan korona itu, seperti berhadapan dengan istri. Kamu berpikir bisa mengontrolnya, tetapi akhirnya kamu sadari, kamu tidak bisa. Maka, kamu belajar untuk hidup dengannya. Sama dengan istri, mula-mula melamar untuk menaklukkan, begitu jadi istri tidak bisa ditaklukkan. Akhirnya berdamai saja. Buat protokol-protokol baru.
Atas dasar apa melonggarkan dan mengetatkan pembatasan sosial?
Ada R0 (basic reproduction number) dan Rt (effective reproduction number). Jadi kami ketika akan memutuskan itu (pelonggaran pembatasan sosial), rapat terakhir itu hari Selasa, ada cara penghitungan matematis. Yang menghitung tiga kementerian. Menko Perekonomian menggunakan model matematis berbeda, dengan metode ini hasilnya ada sembilan provinsi aman. Jakarta sudah termasuk aman karena R0 hanya 0,9. Tidak sampai 1.
Daerah yang sampai hari ini berbahaya Gorontalo, Jawa Timur. Ada beberapa. Sementara provinsi yang aman itu Bali, DKI Jakarta, Aceh, Kepulauan Riau, Riau, Jambi, dan Kalimantan Utara. Itu sudah melalui perhitungan dengan metode berbeda, tetapi menghasilkan hal yang sama. Metode yang dihitung Menko Perekonomian, kemudian perhitungan Kepala Bappenas Suharso Monoarfa. Ketemu sama hasilnya. Setelah itu, ada model lain dari KSP (Kantor Staf Presiden). Ketemu sama ini aman. Tidak sembarangan (pelonggaran). Ada perhitungannya.
Jadi, keputusan berdasarkan grafik kasus positif Covid-19?
Iya. Jadi tiap daerah berbeda-beda. Dimulai dari Jakarta. Kemudian Kepulauan Riau, Kota Semarang. Jawa Tengah (angka R0) tidak bagus, tetapi Kota Semarang bagus.
Jadi penerapan pelonggarakan akan on dan off?
Iya. Nanti kalau sudah dilonggar banyak pelanggaran, kemudian (kasus positif) naik, lalu tutup (pengetatan pembatasan sosial).
Banyak masyarakat tidak patuh. Itu masalah kita. Banyak yang tidak tertib. Karena tidak perduli atau tidak tahu ini bahaya. Tapi mau menunggu (pelonggaran pembatasan sosial) sampai masyarakat patuh semua, enggak bisa juga.
Ada yang khawatir dengan pelonggaran. PSBB saja enggak patuh, apalagi saat pelonggaran. Bagaimana Anda melihat fenomena di masyarakat?
Banyak masyarakat tidak patuh. Itu masalah kita. Banyak yang tidak tertib. Karena tidak perduli atau tidak tahu ini bahaya. Tapi mau menunggu (pelonggaran pembatasan sosial) sampai masyarakat patuh semua, enggak bisa juga. Kami sudah melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh adat (untuk menyerukan disiplin masyarakat). Sudah diajak.
Pada tahap awal, apakah daerah awal akan jadi percontohan, kalau kondisinya baik baru diikuti daerah lain, atau begitu daerah lain nilai R0 baik kemudian langsung diterapkan?
Penerapan di daerah lain juga (dilakukan) dengan pernyataan pejabatnya, tidak jalan sendiri. Sesuai peraturan menteri kesehatan, mulai dan berakhir (pembatasan sosial) harus dinyatakan oleh kepala daerah, disetujui oleh pusat. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah mengatakan (berakhir) 4 Juni. Pak Jokowi sebenarnya maunya 1 Juni saja. Tanggal 4 Juni itu ancang-ancang. Mulai sekarang tenang, tetapi kalau menuju 4 Juni naik lagi (kasus positif Covid-19), tidak jadi pelonggaran. Jadi ada on dan off memang.
Dalam kondisi mulai penerapan normal baru, bagaimana pola pemerintahan dan pelayanan publik kepada masyarakat?
Biasa saja. Tinggal memakai protokol kesehatan saja. Mekanisme pemerintahan diubah dengan protokol kesehatan. Misalnya, sebagai contoh, mal maksimal ukuran sekian disampaikan maksimal 100 orang berada di sana dalam waktu yang sama. Nanti ada yang jaga untuk dibatasi masuk jam berapa. Kalau terlalu lama, diminta keluar. Sama pelayanan kesehatan, pelayanan administrasi pemerintahan juga, tetapi tidak selancar dulu. Cuma kita, kan, harus membuat kelaziman baru. Normal baru.
Sejauh ini, hubungan pusat dengan daerah bagaimana? Bagaimana kontrol pusat terhadap kebijakan daerah menangani Covid-19?
Secara umum jalan, enggak ada konflik. Bahwa di masyarakat seakan-akan dibenturkan, biasa. Saya mengelompokkan, di masyarakat ada orang yang memang kritik bagus. Kritiknya obyektif. Ada datanya. Ada juga orang yang mendukung pemerintah betul. Tapi ada juga yang apa pun dilakukan pemerintah, hantam. Itu ada. Kami identifikasi ini orangnya. Kalau Presiden menyampaikan begini, orang itu bilang begitu. Itu ada.
Nah, kalau dengan Anies (Gubernur DKI Jakarta), dulu dikatakan dengan pemerintah pusat seperti Gubernur New York (Andrew Cuomo) dengan Trump (Presiden AS). Enggak ada masalah (pemerintah pusat) dengan Anies. Sering hadir rapat. (Cuomo dengan Trump kerap berbeda sikap soal kebijakan terkait penanganan Covid-19). (SUTTA DHARMASAPUTRA/ANTONIUS TOMY TRINUGROHO/EVY RACHMAWATI/ANTONY LEE)