Novel Baswedan: Saya Masih Diancam Mau Dibunuh
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F04%2FWhatsApp-Image-2019-04-11-at-09.35.43_1554950244.jpeg)
Penyidik senior KPK, Novel Baswedan, saat ditemui di kediamannya, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu malam (10/4/2019).
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, bergegas masuk ke rumah setelah turun dari mobil Toyota Kijang Innova yang mengantarnya persis dekat pagar rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu malam (10/4/2019), sekitar pukul 20.30. Belum genap 2 menit, Novel keluar lagi sambil menggendong anak bungsunya, Umar Novel Baswedan (3), untuk menemui kami.
Novel saat itu baru kembali dari bekerja. Dia menyempatkan waktu untuk diwawancara secara khusus mengenai perkembangan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya. Sudah dua tahun peristiwa teror tersebut, 11 April 2017 lalu. Hingga saat ini, polisi belum kunjung menemukan siapa pelaku teror terhadap Novel.
Dalam wawancara hampir sekitar 2 jam, obrolan terasa sangat cair dan hangat. Novel mencoba menceritakan segala hal, mulai dari kondisi terakhir matanya, tuntutan agar Presiden Joko Widodo membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), gejolak di internal KPK, keterlibatan oknum polisi yang menghambat pengembangan perkara, hingga pencobaan pembunuhan kembali terhadap dirinya.
Berikut wawancara lengkap harian Kompas dengan Novel.
Bagaimana kondisi mata Mas Novel sekarang?
Mata kiri saya sudah bisa melihat lebih jelas, bisa fokus, bisa tajam, cuma scope (cakupan) kecil, terus penglihatannya seperti plus empat. Kalau yang mata kanan, saya lihat masih berkabut, tak fokus, lihat wajah itu tak terlalu jelas, harus ada cahaya.
Masih harus kontrol mata ke Singapura?
Saya awal Mei baru selesai operasi kecil di sana.
Tindakan operasinya seperti apa?
Hanya merapihkan jaringan yang tumbuh ke depan di mata kiri saya. Cuma, memang, belakangan ini, dokter bilang, jaringan mata kiri saya sudah terus membaik dan sehat.
Apakah itu masih ditanggung biaya pengobatan oleh negara?
Saya pakai asuransi.
Besok (hari ini) genap dua tahun penyerangan terhadap Mas Novel. Namun, belum juga ada titik terang. Bagaimana Mas Novel menanggapi ini?
Terkait dengan dua tahun penyerangan terhadap saya yang tidak diungkap sampai sekarang, itu saya sudah sampaikan empat bulan setelah kejadian, waktu saya sudah pulang dari (rumah sakit) Singapura. Saya juga meyakini (kasus ini) tak akan diungkap.
Artinya, ketika sekarang sudah dua tahun, keyakinan saya bertambah jelas bahwa memang sengaja tidak diungkap. Tetapi dua tahun ini, saya ingin jadikan sebagai momentum untuk kembali menegaskan bahwa yang diserang itu bukan cuma saya, tetapi KPK. Kawan-kawan lain yang diserang banyak dan tak ada satu pun yang diungkap.
Jadi, teror itu masih terus terjadi?
Ya, terus-terusan. Teror paling banyak mulai tahun 2015. Jadi, ketika 2015, teror pertama, kan, saat Endang Tarsa (mantan Direktur Penyidikan KPK). Terus bergulir sampai ke rumah Afif Julian Miftah (penyidik KPK).
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F01%2F20190110_ENGLISH-TAJUK-1_A_web_1547136207.jpg)
Dinding pagar rumah pimpinan KPK, Laode Muhammad Syarif, di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (9/1/2019), gosong setelah dilempar bom molotov pada Rabu dini hari. Pihak kepolisian masih mendalami motif teror tersebut.
Kawan-kawan di daerah juga sedang bekerja di lapangan, tiba-tiba digerebek, ditodongi senjata, dibawa, itu namanya apa? Penangkapankah? Tertangkap tangankah? Karena kalau OTT, kan, dia harus berbuat kejahatan. Kejahatan apa? Makanya, saya selalu bilang, ini penculikan.
Teror-teror begitu banyak sekali kepada pegawai KPK. Terus gimana coba? Apa kita masih nunggu orang KPK sampai ada yang dibunuh dulu, terus enggak diungkap juga, baru kita bersikap? Itu, kan, bahaya sekali.
Ini, kan, seolah tak ada hubungannya kasus yang dikerjakan KPK dengan polisi, tetapi ada upaya digagalkan oleh oknum-oknum dari polisi ini. Ini sistematis atau ada orang yang diorder untuk seperti ini?
Kita ini berkeyakinan atau mendapatkan indikasi-indikasi yang penting bahwa mereka ini sekarang bukan seperti dulu lagi. Kalau dulu, kan, esprit de corps mereka bergerak. Sekarang, kan, tidak, orang order.
Contoh, (Novel menyebut salah seorang pejabat tinggi di BUMN) ngasih uang Rp 60-80 miliar untuk order itu. SN ngasih uang Rp 100 miliar agar ada perlawanan sampai ada kecelakaan lalu lintas. Banyak seperti itu. Semua seperti itu. Belum lagi yang di daerah-daerah.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F04%2F20171117_MOBIL_B_web.jpg)
Lokasi kecelakaan mobil yang ditumpangi Setya Novanto yang terjadi di perempatan Jalan Permata Hijau dan Permata Berlian di daerah Simprug, Jakarta, Kamis (16/11/2017).
Kalau terus transaksi-transaksi begini, kapan mau beres? Kalau begini terus, rusak kita. Akhirnya, jadi mafia hukum beneran. Centeng beneran.
Lalu, bagaimana upaya menghentikan masalah itu?
Untuk memberhentikannya, ya, teror itu harus diungkap. Kalau teror tak diungkap, ya, selamanya kita bicara benang kusut. Teror itu kalau enggak diungkap, keterlaluan sekali.
Kan, ada petisi dari pegawai KPK yang langsung menunjuk bahwa ada masalah di Kedeputian Penindakan KPK. Lalu, bagaimana kerja teman-teman penyidik sekarang?
Sebagian besar perkara disetop. Saya bilang, teman-teman ini sekarang hanya mengerjakan perkara-perkara lama. Sampai segitunya. Jadi, tak pernah dalam sejarah KPK separah ini.
Dalam kondisi sekarang, berarti tak ada perkara baru yang ditangani?
Hanya paling perkara-perkara lama atau pengembangan-pengembangan perkara yang masih belum selesai, paling itu-itu saja. Perkara lain tak jalan karena diampek. Makanya, petisi itu ada.
Ya gimana, selama ini, kawan mau ke lapangan, bocor. Bocor bukan masalah gagalnya operasi, melainkan risiko petugas lapangan. Dari sekian banyak OTT, digagalin semuanya. Kasus di Hotel Borobodur menjadi contoh.
Jadi, termasuk kasus korupsi yang melibatkan Romahurmuziy (mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan) juga perkara lama?
Romy itu, tim berangkat pakai surat tugas lama.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F03%2F20190315_OTT-KPK_C_web_1552658810.jpg)
Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Romy menutup wajahnya dengan menggunakan masker tiba di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjalani pemeriksaan, Jumat (15/3/2019). Hari itu KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Romy di Surabaya, Jawa Timur, berkaitan dengan kasus suap pengisian jabatan di Kementerian Agama.
Jadi, bagaimana menyiasati kebocoran itu?
Ya, tak berinteraksi dalam kegiatan kantor. Kalau bikin surat tugas dulu, pasti bocor, mengajukan anggaran pasti bocor, mengajukan tiket dari bagian administrasi juga bocor. Sampai segitunya, kok. Dan, kalau itu tidak diperbaiki, itu bahaya sekali. Bahaya bukan cuma itu, bisa juga diperdagangin di luar (setiap perkara yang ada), pasti diperdagangin.
Lalu, bagaimana sikap pimpinan KPK?
Tak bersikap. Ketika dikonfirmasi dalam suatu forum pimpinan, mau dibentuk dewan pertimbangan pegawai untuk menyidangkan dia (oknum petinggi KPK yang menjadi sasaran petisi para pegawai), tak ada yang berani. Pimpinan tak berani buat surat pemecatan dia.
Berarti bisa dibilang dari internal pun sudah tak solid?
Bukan tak solid, melainkan sudah diacak-acak. Bagaimana mau solid kalau diacak-acak. Sekarang semua bekerja dan semua lapor kepada bos, surat masuk dilihat bos, lalu dikasih kode kepada orang lain, apakah berarti kita enggak solid? Enggak juga. Problemnya itu hanya di satu orang. Yang mengatur satu orang, kemudian memengaruhi beberapa orang lain.
Ada berapa banyak kasus yang sekarang ditahan (hold)?
Kalau 10, saya kira lebih. Saya meyakini 20 lebih.
Kasusnya besar semua dan melibatkan tokoh-tokoh penting?
Iya.
Dalam waktu dekat, untuk perbaiki situasi ini, apa yang bisa dilakukan?
Deputi diganti. Kalau perlu dikosongin, diambil alih pimpinan saja. Kemudian, satu hal yang saya khawatirkan, direktur monitor dan direktur penyelidikan rencana akan diisi sama polisi dan dimasuki (pangkat polisi) kombes (komisaris besar). Kalau itu terjadi, selesai KPK.
Bagaimana tidak, kalau para kasatgas (kepala satuan tugas) penyelidikan dan penyidikan para (polisi berpangkat) kombes, terus mau ngapain? Semua bocornya lebih terang-terangan daripada sekarang.
Apakah semua penyidik KPK dari kepolisian tidak bisa dipercaya?
Tidak juga. Sebagian juga bisa. Problemnya, yang kemudian dia bisa dipercaya, diancam.
Ini di luar konteks. Kadangkala orang bilang saya benci polisi. Padahal, adik ipar, kakak ipar, dan mertua saya polisi. Temen saya juga banyak polisi. Jadi, kalau dibilang saya benci polisi, itu salah.
Tetapi, seumpama saya bilang, sebaiknya KPK tak ada polisi. Pasti saya akan dibilang, saya benci polisi.
Padahal, kalau mau dilihat, best practice (contoh yang baik). Di negara mana yang sukses pemberantasan korupsinya, lembaga antikorupsinya yang di dalam ada polisinya? Negara mana? Jawabannya, tidak ada.
Di seluruh dunia, setiap negara, yang paling korup pasti polisi. Saya tanya orang-orang antikorupsi. Di MACC (Malaysian Anti-Corruption Commission), yang paling korupsi adalah polisi Malaysia. Di CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau) Singapura juga begitu, di sana yang paling korup adalah polisi Singapura. Australia juga ngomong begitu.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F04%2Fkompas_tark_1910572_2_5.jpeg)
Dalam foto yang diambil pada 12 Juli 2013 tampak penyidik KPK, Novel Baswedan, bersama ketiga rekannya menjadi saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam sidang perkara dugaan korupsi proyek pengadaan alat Simulator SIM di Korlantas Mabes Polri, dengan terdakwa Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Kalau ada yang tidak benar, ayo dibenahi. Nah, di Indonesia, mereka disuruh pegang kendali menangani pemberantasan korupsi, logikanya di mana? Cuma lagi-lagi kalau saya yang ngomong, dianggapnya saya benci sama polisi.
Apakah itu juga yang menjadi alasan KPK sekarang tidak pernah mengusut kembali kasus-kasus yang bersinggungan dengan kepolisian?
Betul. Kenapa? Setiap kasus yang kemudian ditangani KPK itu rata-rata ada keterlibatan polisi, tetapi kemudian KPK memilih untuk tidak menyentuh sama sekali. Kenapa? Karena nanti dibilang, KPK musuhi polisi. Padahal, tak begitu ceritanya.
Berapa laporan saat ini di penyelidikan yang melibatkan polisi?
Saya tak tahu detail, cuma rata-rata pasti ada. Kalau saya katakan, paling tidak 2/3-nya. Tetapi, itu asumsi.
Poinnya adalah kita mesti harus punya masa depan untuk pemberantasan korupsi yang lebih baik. Tentu kita enggak boleh mengalah pada situasi ini dan kita harus cari jalan keluar.
Lalu, bagaimana menyelesaikan masalah ini?
Saya dan teman-teman selalu bilang kepada pimpinan, pimpinan harus buka. Lapor ke Presiden.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F04%2Ftito-novel.jpg)
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Tito Karnavian menunjukkan sketsa wajah seorang lelaki yang diduga pelaku penyerangan Novel Baswedan, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Sketsa itu ditunjukkan dalam jumpa wartawan seusai pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (31/7/2017).
Namun, inti dari semua itu adalah gimana caranya TGPF itu dibentuk untuk menelusuri itu semua. Terus caranya gimana kalau enggak dibentuk TGPF? TGPF itu menelusuri itu semua. Biar diungkap itu semua. Mau ada polisi yang ikut dalam tim itu tak masalah, yang penting juga ada orang lain yang bisa berlaku kritis kepada polisi itu.
Kalau dari pimpinan, siapa yang setuju dibentuknya TGPF dan siapa yang tidak setuju?
Saya tak pernah bertanya itu. Problemnya, kan, mereka enggak berani ngomong ke luar. Paling tidak perbandingannya, tiga (yang setuju) banding dua.
Sejauh ini sudah ada komunikasi dengan Presiden soal pembentukan TGPF?
Saya tidak pernah berkomunikasi dengan beliau. Seingat saya, Presiden beri gambaran bahwa kalau Polri angkat tangan, beliau akan tunjuk tim.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F04%2FWhatsApp-Image-2018-04-11-at.jpeg)
Sejumlah orang yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi melakukan aksi peringatan satu tahun pasca-penyerangan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Aksi ini dilakukan di Taman Aspirasi, Seberang Istana Negara Jakarta, Rabu (11/4/2018). Mereka mendesak Presiden Joko Widodo segera menuntaskan kasus Novel dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Saya pada kesempatan ini justru mengharapkan Pak Presiden tak perlu menunggu Polri angkat tangan. Itu karena kalau Polri tak angkat tangan, terus berarti kasus-kasus ini tak pernah diungkap. Karena semakin lama, pembuktian jauh akan menjadi lebih sulit.
Mas Novel masih yakin bahwa polisi akan mengungkap kasus ini?
Saya tidak terlalu yakin, tetapi tentunya saya tetap harus optimistis dan berharap Pak Presiden mau bersikap membuka jalan ketika ada kebuntuan-kebuntuan. Tentunya, satu-satunya harapan saat ini adalah kepada atasan Kapolri, yaitu Pak Presiden.
Hingga saat ini, Mas Novel masih menerima ancaman?
Ya, saya diancam sampai mau dibunuh beberapa kali lewat surat kaleng. Sampai segitunya.
Bagaimana menghadapi ancaman itu?
Ya mau gimana lagi. Saya yakin semua terjadi karena kehendak Allah.
Mendengar cerita keseluruhan Mas Novel, wajar tidak kalau publik menjadi khawatir soal integritas KPK?
Wajar. Kenapa? Kalau disusupi terus, gimana integritasnya bisa kuat? Tetapi, biar integritasnya kuat, kalau ada masalah-masalah itu, ya mesti harus dibantuin. Kalau tidak dibantuin, gimana? Karena itu, Presiden harus turun tangan.
Apakah publik masih bisa berharap dengan KPK?
Kalau pengungkapan tak dilakukan dan polisi masih berkuasa di republik ini, dengan level seperti itu, selesai sudah.