Keberlanjutan Pariwisata dan Pariwisata Berkelanjutan
Dunia pariwisata sedang di fase kebangkitan kembali. Dua hal yang harus direspon pemangku kepentingan pariwisata, yaitu kecenderungan berwisata dalam jarak pendek dan tumbuhnya minat pada paket wisata berbasis nilai.
Oleh
FITRA SUJAWOTO
·5 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Momentum tahun baru bukan hanya tentang resolusi dan refleksi bagi pariwisata, tetapi juga rekreasi. Setiap libur Natal dan Tahun Baru yang juga bertepatan dengan jadwal libur sekolah, jalan raya dari dan menuju tempat wisata akan dijejali oleh kendaraan wisatawan. Sebut saja Monas dan Kota Tua di Jakarta atau Malioboro dan Parangtritis di Yogyakarta.
Di jalur lintas udara pun demikian, setidaknya ada 1,1 juta penumpang yang wara-wiri di 15 bandara milik Angkasa Pura I. Bahkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno memprediksi target 703 juta pergerakan wisatawan nusantara, dan 5,3 juta pergerakan wisatawan mancanegara tercapai saat libur Nataru 2023.
Pergerakan wisatawanlah yang melahirkan denyut industri pariwisata. Ketika wisatawan bergerak setidaknya ada tiga area yang diuntungkan secara ekonomi, yaitu area asal, area transit, dan area tujuan. Maka pergerakan wisatawan di dalam negeri di masa libur Nataru 2023, seluruh keuntungan ekonominya akan terserap dan terdistribusi ke berbagai pekerja dan pelaku usaha pariwisata di Indonesia. Kadin Indonesia menyampaikan setidaknya potensi perputaran uang di masa libur Nataru 2023 sebesar Rp 23,85 triliun.
Dengan keseluruhan angka-angka tadi, tentu saja libur Nataru 2023 dapat menjadi momentum kebangkitan pariwisata Indonesia setelah mengalami tidur panjang akibat pandemi Covid-19. Peran pariwisata sebagai penyumbang PDB terbesar ke-2 di Indonesia setelah pertambangan pun dapat segera pulih kembali.
Namun bagaimana dengan situasi resesi ekonomi global di tahun 2023? Apakah roda pariwisata akan kembali terhenti karena tidak ada pergerakan wisatawan? Dan adakah strategi atau upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga keberlanjutan momentum kebangkitan pariwisata Indonesia?
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Wisatawan mengunjungi Desa Penglipuran, sebuah desa wisata unggulan di Kabupaten Bangli, Minggu (11/12/2022). Desa wisata juga menopang keberadaan destinasi di Indonesia.
Resesi ekonomi dunia
Banyak pengamat berpandangan pariwisata akan menjadi salah satu industri yang paling terdampak saat resesi ekonomi 2023 terjadi. Sektor pariwisata dianggap sebagai industri yang rapuh. Anggapan ini wajar karena berwisata belum dianggap sebagai kebutuhan primer manusia. Jadi, ketika ada faktor yang menghambat motivasi berwisata, serta merta minat wisatawan untuk berpergian dapat hilang begitu saja, yang dalam hal ini ialah terjadinya resesi ekonomi dunia 2023.
Namun, pada 13 Desember 2022, Euro-Monitor justru merilis laporan bernada optimistis terkait pertumbuhan pariwisata global pasca-pandemi yang berjudul "Top 100 City Destinations Index". Dalam laporan itu ditunjukkan terjadi peningkatan belanja wisatawan di suatu destinasi sebesar 112 persen apabila dibandingkan pada 2021. Selain itu, pembelanjaan tiap wisatawan per sekali kedatangan juga meningkat 13 persen, dan diproyeksikan seluruh wisatawan dunia akan membelanjakan 1,4 triliun dollar AS pada 2023.
Apabila mengacu kepada konsepsi siklus hidup pariwisata dari Richard Butler (2006), maka saat ini dunia pariwisata pasca-pandemi sedang ada di tahapan rejuvenasi alias fase kebangkitan kembali. Di fase ini, lazimnya terjadi pergeseran perilaku dan minat wisatawan sebagaimana lansiran Euro-Monitor.
Apabila mengacu kepada konsepsi siklus hidup pariwisata dari Richard Butler (2006), maka saat ini dunia pariwisata pasca-pandemi sedang ada di tahapan rejuvenasi alias fase kebangkitan kembali.
Menurut laporan mereka ada dua motif pergeseran minat wisatawan yang harus direspon oleh seluruh pemangku kepentingan pariwisata apabila betul-betul ingin mempertahankan momentum kebangkitan pariwisata pasca-pandemi, sekaligus melakukan upaya mitigasi krisis pariwisata akibat resesi ekonomi dunia di tahun 2023, yaitu (1) adanya kecenderungan berwisata dalam jarak pendek, baik domestik maupun intra-regional, dan (2) tumbuhnya preferensi wisatawan pada paket wisata berbasis nilai.
Pergeseran minat wisatawan pada pariwisata yang lebih berkelanjutan dan memberdayakan komunitas lokal ini juga sejalan dengan rekomendasi Global Tourism Forum yang diselenggarakan di Bali pada pertengahan November 2022. Dari tujuh mandat yang disepakati, isu pengembangan pariwisata berkelanjutan menjadi salah satu strategi dalam pemulihan sektor pariwisata pasca-pandemi dan sekaligus bagian dari upaya memperbaiki ekosistem pariwisata yang terlalu bermotif ekonomi.
Selama ini, industri pariwisata memang dianggap terlalu bermahzab pariwisata massal sehingga banyak destinasi yang mengalami kelebihan kapasitas. Hal ini bukan hanya berdampak buruk kepada lingkungan, tetapi juga menciptakan kesejangan sosial pada masyarakat setempat dan melahirkan ketergantungan ekonomi pada kuantitas kunjungan wisatawan.
Komitmen pariwisata Indonesia
Keseluruhan data dan angka atas asumsi pertumbuhan pariwisata dunia tadi tentu juga sejalan dengan komitmen pariwisata Indonesia untuk terus menumbuhkan destinasi pariwisata berkelanjutan, khususnya pada pengembangan lima Destinasi Pariwisata Superprioritas (DPSP), yaitu Danau Toba, Borobudur, Labuan Bajo, Mandalika, dan Likupang. Strategi pengembangan lima DPSP yang mendayagunakan peran dan fungsi lintas-sektoral pemerintah pusat dan daerah, serta berbagai pemangku kepentingan pariwisata baik skala besar maupun umkm ini tentu diharapkan dapat menjaga momentum kebangkitan pariwisata pasca-pandemi sekaligus menjadi obat mujarab untuk menangkal terpaan resesi ekonomi.
Lantas bagaimana dengan hadirnya pergerakan wisatawan pasca-pandemi yang lebih cenderung berwisata dalam jarak pendek, baik skala domestik ataupun intra-regional, seperti yang diutarakan oleh Euro-Monitor? Torehan baik Indonesia dalam Travel and Tourism Competititivenes Index (TTCI) 2021 dengan berada di peringkat dua se-kawasan Asia Tenggara mengungguli Thailand dan Malaysia menunjukkan unggulnya pariwisata Indonesia pada tingkatan regional yang diharapkan berdampak kepada pertumbuhan minat wisatawan intra-regional untuk berkunjung ke Indonesia.
Oleh karena itu, meski berbagai indikator menunjukkan besarnya dampak resesi ekonomi 2023 pada berbagai sektor industri, khususnya industri pariwisata yang dikenal rapuh, sesungguhnya pariwisata Indonesia telah berada pada arah pengembangan dan pertumbuhan yang sejalan dengan tren pariwisata global pasca-pandemi, yaitu berfokus kepada wisatawan domestik dan regional serta mengembangkan pariwisata berkelanjutan. Sehingga, meski dunia harus kembali hadapi resesi ekonomi, industri pariwisata Indonesia akan terus mengalami rejuvenasi karena sedang berfokus bukan hanya pada keberlanjutan pariwisata, tetapi juga pariwisata berkelanjutan.
Fitra Sujawoto, Pengajar Politeknik Pariwisata NHI Bandung